Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menorehkan Ruh Asas Hukum Pidana (Pajak)

25 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:54 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Agung: mahkamahagung.go.id

Dalam dunia perpajakan termasuk sistem perpajakan di Indonesia, asas geen straf zonder schuld sangatlah penting untuk dipahami bagi semua stakeholder di bidang perpajakan. Tentu tidak hanya bagi fiskus, tetapi juga bagi Wajib Pajak, hakim pajak, konsultan pajak, advokat pajak¸ dan para stakeholder lainnya. Karena konsep hukum ini memberi inspirasi dan cara pandang bagi seseorang apakah seseorang dalam kesendirian atau bersama pihak lain termasuk korporasi –melakukan kesalahan atau tidak, baik itu dalam perspektif pidana maupun administratif.

Beberapa waktu lalu seorang pejabat kantor pusat DJP menghubungi dan mengajak penulis berdiskusi  tentang ketentuan Tindak Pidana Pasal 39 dan 39A Undang-Undang KUP, khususnya terkait dengan penerbit dan pengguna faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Berapa layer atau tingkat Wajib Pajak yang diproses pidananya? Mengingat dalam kasus tersebut terdapat beberapa kali transaksi (layer) yang menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Penulis pun menjawab dengan sederhana, yaitu mengambil langkah dengan cara mengimplementasikan Undang-Undang KUP sesuai dengan putusan Hoge Raad 14 Februari 1916, yaitu geen straf zonder schuld.    

CONCURSUS (GABUNGAN TINDAK PIDANA)          

Concursus atau samenloop van strafbare feiten merupakan merupakan salah satu asas atau terminilogi dalam ilmu hukum pidana yang mempunyai makna gabungan tindak pidana dalam waktu tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Dalam bahasa yang sederhana yang  dimaksud dengan Concursus atau samenloop van strafbare feiten adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang atau beberapa orang dimana tindak pidana yang dilakukan baik yang pertama kali dan yang berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan atau diantara tindak pidana tersebut belum diputus oleh pengadilan.

Pemahaman makna concursus atau samenloop van strafbare feiten tentu juga berlaku untuk gabungan tindak pidana di bidang perpajakan. Jadi tidak ada bedanya dengan pemahaman makna gabungan tindak pidana non perpajakan, baik itu pidana umum maupun pidana khusus. Karena tidak ada perbedaan dengan makna pemahaman gabungan tindak pidana secara umum, maka gabungan tindak pidana perpajakan pun terdiri dari  3 (tiga) penggolongan, yaitu eendaadsche samenloop (gabungan berupa satu perbuatan), meerdaadsche samenloop (gabungan beberapa perbuatan),dan voortgezette handeling (satu perbuatan yang dilanjutkan).

A. Concursus Idealis (Endaadse Samenloop)

Concursus idealis atau eendaadsche samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam Undang-Undang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana yang  demikian disebut dengan perbarengan peraturan. Contoh misalnya seseorang yang meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai Meterai tersebut sebagai Meterai Asli, tidak palsu atau sah, diancam pidana berdasarkan ketentuan Dalam Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai dan Pasal 253 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).

Selanjutnya bagaimana sistem pengenaan sanksi jika seseorang melakukan tindak pidana dalam perspektif concursus idealis atau eendaadsche samenloop? Pengenaan pidana yang dipakai dalam concursus idealis atau eendaadsche samenloop adalah sistem absorbsi, yaitu bahwa sistem pengenaan sanksi hanya dikenakan untuk pidana pokok yang terberat, dalam konteks lex spesialis derogat legi generali. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 63 KUHP, yang mengatur:

(1). Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Berkenaan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 KUHP, maka seseorang yang meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai Meterai tersebut sebagai Meterai Asli, tidak palsu atau sah, dia dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal  Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Keberlakuan Undang-Undang Bea Meterai dalam kasus tersebut  juga sesuai dengan asas hukum lex spesialis derogat legi generali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun