Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menorehkan Ruh Asas Hukum Pidana (Pajak)

25 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:54 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Agung: mahkamahagung.go.id

Alhamdulillah, semua ketentuan mengenai tindak pidana perpajakan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang. Misalnya ketentuan dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP, Pasal 25 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (Undang-Undang PBB), Pasal 41A Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Undang-Undang PPSP), serta Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang Bea Meterai.

Pemahaman mengenai ketentuan tindak pidana perpajakan dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PBB, Undang-Undang PPSP dan Undang Undang Bea Meterai apakah semuanya atau hanya sebagian (besar) merupakan tindak pidana perpajakan sangatlah penting dan fundamental. Mengapa? Hal ini karena berimbas atau menyangkut kewenangan yang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Jika tindak pidana tersebut dimaknai sebagai tindak pidana perpajakan, maka yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana tersebut hanya penyidik pajak Direktorat Jenderal Pajak, demikian jika terjadi pemahaman yang lain atau sebaliknya. Sepengetahuan penulis, semua ketentuan tindak pidana dalam Undang-Undang Perpajakan oleh pemerintah dimaknai dan dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan.

Memang sempat menyeruak suatu pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah semua ketentuan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan ataukah hanya ketentuan pidana yang terkait dengan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak an sich? Berkenaan dengan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah semua ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan, maka apabila terdapat seseorang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya karena tidak merahasiakan data Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang KUP, berarti penyidikannya dilakukan oleh penyidik Direktorat Jenderal Pajak.

Demikian halnya untuk tindak pidana perpajakan lainnya, baik itu yang diatur dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PBB, Undang-Undang PPSP maupun Undang-Undang Bea Meterai, tindakan penyidikannya pun dilakukan oleh penyidik Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengatur secara tegas dan jelas (expressive verbis) dan tidak dapat ditafsirkan lain (expressum facit cecare tacitum) bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

MALA PERSE DAN MALA PROHIBITA

Dalam mempelajari hukum pidana perpajakan tidaklah mungkin melewatkan diri dari makna mala perse dan mala prohibita, apalagi tindak pidana perpajakan dalam Undang-Undang KUP seringkali beririsan dengan tindakan yang bersifat administratif. Misalnya Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) yang isinya tidak benar, tidak selamanya diproses sebagai suatu perbuatan pidana, tetapi justru lebih sering diproses dengan tindakan administratif melalui pemeriksaan pajak dan penerbitan surat ketetapan pajak.

Pengertian makna mala perse atau seringkali disebut dengan malum inse atau mala inse, adalah suatu perbuatan yang secara moral, nilai atau pandangan masyarakat merupakan suatu perbuatan yang jahat atau buruk, dan berdasarkan Undang-Undang, perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Misalnya mencuri, memperkosa, menipu, menghina, berzina  merupakan suatu perbuatan jahat atau buruk apabila diukur dari moral atau nilai yang berkembang dalam masyarakat. Ketika perbuatan tersebut berdasarkan Undang-Undang dikategorikan sebagai perbuatan pidana, hal itu dinamakan mala perse (malum inse atau mala inse).

Sementara itu mala prohibita adalah suatu perbuatan yang berdasarkan moralitas atau pandangan nilai dalam masyarakat bukan merupakan suatu perbuatan yang jahat atau buruk, tetapi berdasarkan Undang-Undang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Misalnya kejadian yang terdapat di Perancis beberapa waktu lalu mengenai RUU Anti Jilbab. Jika RUU tersebut akhirnya menjadi Undang-Undang sehingga setiap orang yang mengenakan jilbab dapat dipidana, maka hal itu merupakan mala prohibita. Mengapa demikian? Karena mengenakan jilbab dalam ajaran Islam merupakan perbuatan yang mulia bahkan sebagai perintah agama, dan bagi masyarakat umum sebagai perbuatan yang baik-baik saja atau boleh-boleh saja, tetapi berdasarkan UU di Perancis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Bagaimana mala perse dan mala prohibita dalam konteks  tindak pidana perpajakan? Pada hemat kami, semua ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perpajakan juga termasuk dalam kategori mala perse atau mala prohibita. Tentu tidak semua orang mempunyai pandangan yang sama apakah suatu tindak pidana pajak tertentu termasuk dalam kategori mala perse atau mala prohibita. Hal ini tentu tergantung sudut pandang masing-masing dalam memberikan timbangan makna dan moralitas suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan. Namun demikian setiap orang seharusnya mempunyai pendapat yang sama apabila suatu perbuatan menurut Undang-Undang telah dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana, sehingga tidak boleh ada pandangan yang lain.

Penulis sendiri berpendapat dengan suatu contoh atau pemisalan, jika seseorang menerbitkan faktur pajak  yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya sehingga mendapatkan kelebihan pembayaran pajak atau pajak terutangnya menjadi lebih kecil, hal itu merupakan mala perse (bisa dilihat Pasal 39 dan Pasal 39A Undang-Undang KUP). Kenapa demikian? Karena perbuatan Wajib Pajak secara moral dan nilai merupakan perbuatan jahat dan atau buruk, apalagi dengan menerbitkan faktur pajak “palsu atau fiktif”, Wajib Pajak memperoleh pengembalian kelebihan pajak atau pajak terutangnya menjadi lebih kecil.

Sementara itu pidana bagi pejabat suatu instansi, asosiasi¸lembaga dan pihak lain yang tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 41C Undang-Undang KUP, pada hemat kami merupakan tindak pidana perpajakan yang termasuk dalam kategori mala prohibita. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut dari sisi moral dan nilai bukan merupakan perbuatan jahat dan masyarakat melihatnya sebagai perbuatan yang boleh-boleh atau baik-baik saja. Hanya karena diperintahkan atau diatur dalam Undang-Undang, sehingga perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan jahat (pidana).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun