Mohon tunggu...
Yasir Husain
Yasir Husain Mohon Tunggu... Guru - Guru

Teacher; Penulis Buku Nasihat Cinta dari Alam, Surga Menantimu, SETIA (Selagi Engkau Taat & Ingat Allah)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Nak Jangan Ganggu, Papa dan Mama Sibuk!"

30 Desember 2018   06:56 Diperbarui: 30 Desember 2018   21:22 2875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.hipwee.com

Sejak kecil kita sudah disuruh untuk bersekolah. Berbagai dorongan dan semangat diberikan oleh orang-orang yang menginginkan kita sukses, agar kita selalu rajin bersekolah. "Ayo ke sekolah, yang rajin ya belajarnya. Biar nanti jadi orang sukses!" Begitu salah satu semangat yang diberikan. Sungguh bagus tapi tak lengkap.

Dari kecil kita hanya didorong untuk sukses tanpa tahu arti sukses yang sesungguhnya. Bahkan, sukses yang disemangatkan seringkali diartikan dengan nilai materi. "Teruslah bersekolah yang tinggi, agar kelak bisa memiliki pekerjaan yang bagus dengan penghasilan yang banyak. Biar kamu jadi orang sukses!" Ya, seperti itulah kira-kira gambarannya.

Nah, dorongan-dorongan kesuksesan itu akhiranya terbawa sampai dewasa. Hingga saat berkeluarga dan memiliki anak. Sukses yang dimaksud adalah terus mengembangkan karir dan meningkatkan penghasilan. Pekerjaan dikejar sebaik mungkin, dan penghasilan diusahakan semaksimal mungkin banyaknya.

Akhirnya, apa yang terjadi? Jawabannya, banyak yang terjadi. Kita tak jarang melihat, orang-orang yang keluar rumah saat pagi-pagi buta dan kembali menjelang hari telah gelap. Kita pun seringkali menyaksikan banyak rumah-rumah selalu kosong, padahal rumah tersebut adalah rumah mewah. Yang paling aneh, banyak orangtua yang tak akrab dengan anggota keluarganya sendiri---terutama anak-anaknya---hanya karena sibuk dengan urusan pekerjaan.

"Papa dan Mama capek, Nak, mau istirahat." Sebuah ungkapan yang keluar dari mulut orangtua ketika diajak belajar atau bermain oleh anaknya di rumah. Atau, "Papa dan Mama ada pekerjaan, belajar aja sendiri dulu atau besok tanya sama gurunya di sekolah." Ungkapan lainnya yang dilontarkan oleh orangtua yang membawa pekerjaannya ke rumah, saat diminta waktunya untuk menemani anak-anaknya bermain atau belajar.

Nah, dari sini kita berpikir, sebenarnya sekolah kita yang tinggi selama ini, pendidikan kita yang berjenjang-jenjang, semua itu untuk apa dan siapa? Apa hanya untuk orang lain yang menjadi atasan kita? Apakah hanya untuk orang lain yang menjadi bawahan kita? Atau, apakah hanya untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya untuk menjadi harta kita? Sementara di rumah ada harta yang sangat berharga---yaitu keluarga---yang juga harus kita perhatikan dengan pendidikan.

Ya, keluarga kita adalah harta kita yang paling berharga. Kita punya anak di rumah. Merekalah yang paling berhak untuk diutamakan dengan hasil sekolah tinggi kita selama ini. Jika ada yang berkata, "Saya kan bekerja untuk anak juga." Coba dipikir lagi apa benar semuanya untuk anak? 

Bukankah anak belum terlalu mengenal materi? Bukankah anak selalu minta ditemani bermain atau belajar? "Ini kan untuk masa depan anak-anak saya, biar hidupnya nyaman." Apa benar demikian? Bukankah masa depan yang baik untuk anak ketika mereka bisa mandiri? Bukan dengan menghabiskan materi yang tersedia lalu setelah itu tak tahu harus berbuat apa.

Coba kita pikirkan. Apalah arti pendidikan kita yang tinggi jika tak membekas pada anak-anak kita. Apalah arti gelar kita yang banyak jika hanya digunakan untuk mengukir prestasi di luar sana. Sementara anak-anak di rumah banyak dititipkan sama pembantu, atau di tempat-tempat les untuk pendidikannya.

Kita bukan tak boleh mencari materi agar bisa hidup mapan secara ekonomi, tapi jangan sampai semua itu merusak kemapanan kita untuk selalu menghadirkan kehangatan dalam rumah tangga. Ingatlah masa anak-anak itu singkat. Kita tak akan sadar, tiba-tiba anak-anak kita nanti sudah besar dan tak bisa lagi diajak bermain.

Jangan sampai, ketika kita sudah tua nantinya, baru mau ditemani bermain oleh anak. Ketika kita yang sudah tidak bisa lagi bekerja di luar dan lebih banyak di rumah, baru ingin ditemani oleh anak-anak. Dan ketika anak tak ada waktu, sibuk juga dengan pekerjaannya, keluarlah kata-kata, "Dasar anak tak berbakti, enggak pernah punya waktu untuk orangtua." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun