Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Budaya sebagai Penyebab Kemiskinan di NTT

22 Mei 2017   08:12 Diperbarui: 23 Mei 2017   11:40 6492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)  tahun 2017 secara nasional NTT menempati urutan ketiga termiskin setelah Papua dan Papua Barat. Prosentasi kemiskinan di NTT mencapai 22% yakni 12% lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan nasional 10,08% (Pos Kupang, 13/1/17). Data ini tentu bisa dipercaya karena merupakan data dari sebuah badan milik negara. Dan, orang-orang yang bekerja di dalamnya adalah kaum profesional yang kredibilitasnya dapat diandalkan.

Kemiskinan selalu akrab dengan kehidupan masyarakat NTT. Ini merupakan persoalan klasik yang selalu mengusik nurani para pencinta kehidupan. Entah mengapa, walau sering dibicarakan dan selalu menjadi topik pilihan dalam diskusi, tetap saja kemiskinan terus menggerogoti masyarakat. Pemerintah, agama, bahkan masyarakat sendiri seakan sudah kebal dan mati rasa terhadap realitas kemiskinan yang dialaminya.

Chavchai Syaifullah (2008: 22) mengemukakan konsep kemiskinan yang dilihat dari berbagai aspek. Kemiskinan tidak hanya sebatas rendahnya sumber daya manusia untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik. Lebih dari itu kemiskinan juga dilihat dari lingkungan alam (kemarau, bencana alam) yang dihuni oleh sekelompok masyarakat tertentu. Selain itu, peperangan dan struktur masyarakat seperti pola kebudayaan dan pemerintahan yang korup serta upah rendah juga turut mendukung terciptanya masyarakat miskin.

Penulis melalui tulisan ini lebih menyoroti fenomena kemiskinan di NTT sebagai akibat dari struktur kebudayaan yang dimiliki masyarakatnya. Masyarakat NTT umumnya masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya yang dinilai sebagai warisan yang paling luhur. Memang tidak dapat diingkari nilai-nilai luhur kebudayaan telah menghasilkan generasi yang menjunjung tinggi solidaritas, kekeluargaan dan keakraban masyarakat NTT. Hal ini patut diapresiasi.

Namun di balik nilai-nilai luhur tersebut terimplisit perilaku sosial yang menguras harta benda. Sebut saja beberapa wilayah di NTT seperti daratan Flores, Sumba, dan Timor. Ketiga wilayah ini memiliki populasi penduduk yang cukup banyak dengan ritual budaya yang banyak menghabiskan anggaran.

Sebut saja budaya penguburan orang mati di Sumba yang bisa menghabiskan puluhan ekor kerbau ataupun kuda serta babi yang tak terhitung jumlahnya. Padahal hewan-hewan tersebut mempunyai nilai jual yang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Realitas lain yang tersembuyi di balik ritual adat yang syarat gengsi dalam stratifikasi masyarakat Sumba itu adalah hewan-hewan korban banyak didapatkan dengan cara berhutang.

Sementara itu, di daratan Flores pesta sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Banyak keluarga yang memaksakan diri melakukan pesta keluarga hanya untuk kesenangan atau takut dinilai tidak mampu oleh lingkungan masyarakatnya. Bukan hal baru bagi masyarakat meminjam uang untuk dihabiskan  dengan berpesta dan bukannya untuk dikembangkan.

Lingkungan alam di Flores dengan hasil tanaman perdagangan sebenarnya sangat  menjanjikan seperti kopi, kakao, kemiri, cengkeh, kopra, padi, dan lain-lain. Namun hal ini tidaklah membuat kehidupan ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Penyebab utamanya adalah minimnya sumber daya manusia dan budaya pesta yang sifatnya menghamburkan harta kekayaan

Anggaran pelaksanaan ritual budaya diperoleh dengan cara berhutang. Ini sungguh ironis, karena setelah selesai melaksanakan pesta adat, masyarakat sibuk bekerja untuk melunasi utang. Situasi ini menciptakan konglomerat baru di kampung yang memiliki tanah yang luas serta hewan yang banyak. Masyarakat yang tidak mampu melunasi utangnya terpaksa menggadaikan tanah, lahan pertanian kepada pemilik modal (piutang).

Menyoroti Peran Pemerintah dan Agama

Fenomena kebudayaan di atas jelas hanya menghasilkan masyarakat yang tetap terbelakang secara ekonomi. Kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia seakan sulit untuk diubah walau kebudayaan itu bersifat dinamis. Tentu muncul aneka argumentasi untuk melanggengkan keadaan, membiarkannya sebagai sesuatu yang bernilai luhur yang perlu dijaga dan dilestarikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun