Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Obrolan di Kios Bubur Kacang (3)

11 Maret 2018   05:58 Diperbarui: 11 Maret 2018   08:55 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

OBROLAN DI KIOS BUBUR KACANG (3)

Saya baru saja tiba di kios bubur Bang Didin setelah pulang dari kediaman seorang teman di kawasan Taman Sunda Kelapa, Menteng. Jarum jam menunjukkan sudah lewat tengah malam, tapi kios Bang Didin, masih saja ada pengunjung yang mampir menyantap bubur ketan kacang ijo.

Belum terlalu lama aku duduk menikmati bubur kacang yang dihidangkan Bang Didin, tiba-tiba dari luar terdengar teriakan.

"Campur, bang, plus telor bebek dua."

Oh, ternyata Mamat. Begitu dia masuk, Saya langsung mengajaknya duduk di sebelahku dan mengajaknya berbincang. Rupanya, selama empat hari tidak muncul-muncul, Mamat sibuk melakukan kegiatan pendampingan terhadap korban penggusuran Ahok di Kalijodoh.

Tak lama kemudian, Bang Didin menyodorkan semangkuk bubur kacang ijo campur ketan hitam plus telor bebek setengah matang kepada Mamat sembari berkata, "Mat, lanjutin cerita ente yang kemarin soal gay itu. Tuh si Poltak nungguin kamu berhari-hari".

"Itu sudah basi, tidak menarik lagi menjadi Obrolan makan bubur kacang. Mending Bang Mamat cerita soal Kalijodoh digusur Ahok". Timpalku dengan spontan.

"Ah, nanti sajalah itu bang, betul  kata Bang Didin. Aku ini sudah empat hari menunggu cerita si Mamat". Poltak tiba-tiba memotong dengan dialek bataknya yang masih kental, memandang ke arahku. Mamat yang sedari tadi hanya asyik dengan bubur kacangnya,  kemudian berdehem sambil menyulut sebatang rokok lalu mulai bertutur.

"Sebenarnya, yang kita bicarakan ini  adalah tentang masalah tentang kita sendiri, baik sebagai seorang lelaki maupun sebagai seorang suami. Lelaki dan suami, dua karakter yang hadir sekaligus pada diri kita. Idealnya, kedua karakter ini tidak boleh berbeda. Sebab kapan berbeda, seseorang mengalami kepribadian yang terpecah dan merupakan titik mula terjadinya kelainan yang  secara psikologis dapat menimbulkan  berbagai gangguan kejiwaan, termasuk mengarah kepada perilaku seksual yang menyimpang".

Mamat berhenti sejenak untuk menghisap rokoknya. Aku yang duduk di sampingnya begitu terkesan dan seolah tidak percaya kalau yang berbicara ini adalah seorang sopir omprengan.

"Seorang suami, misalnya,  bukan saja pasangan isteri atau ayah dari anak-anaknya. Tetapi ia juga tetaplah seorang lelaki. Seorang suami disebut lelaki normal kalau dalam dirinya masih tetap saja mengalir hasrat atau libido seksual terhadap lawan jenisnya. Entah itu kepada isterinya atau kepada wanita lain. Bahkan kalau boleh jujur, kita ini punya kecenderungan memandang rumput di luar halaman sendiri yang selalu tampak lebih hijau." Mamat jeda sejenak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun