Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anomalinya Umat di Negeriku

8 Agustus 2017   12:08 Diperbarui: 8 Agustus 2017   12:34 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jadi shared ethical values dari berbagai agama, tapi secara khusus kalau dibedah, itu Islami. Ketuhanan Yang Maha Esa itu tauhid. Islam yang paling keras mengedepankan tauhid. Kemanusiaan. Persatuan, bahkan Islam lebih luas dari sekadar persatuan kebangsaan dan persatuan kemanusiaan. Apalagi kerakyatan dan seterusnya. Dan keadilan itu ajaran Islam yang paling keras. Islami. Ini ajaran-ajaran Islam." Setelah kita memperhatikan beberapa pandangan para ahli tentang khilafah di atas, mari kita cukupkan sudah perdebatan tentang khilafah.

Terdapat beberapa studi yang perlu diketahui oleh umat, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari yang dituliskan dalam Global Economy Journalpada tahun 2010. Yang pertama berjudul "An Economic Islamicity Index (EI2)", yang mengukur beberapa aspek perekonomian, di antaranya kesetaraan gender, diskriminasi, interaksi antar karyawan, kemudahan dalam berbisnis, kepemilikan, kemudahan mendapatkan pekerjaan, pendidikan, kemiskinan, layanan kesehatan, infrastruktur, pajak, kesejahteraan sosial, investasi, tingkat standar moral, sistem keuangan islam, dan makro ekonomi. Dalam beberapa penilaian tersebut, Irlandia menduduki posisi pertama. Diikuti negara lainnya berturut-turut: Denmark, Luxemburg, Swedia, Inggris, Selandia Baru, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia pada posisi 10 besar. 

Hasil tersebut diambil dari 208 negara yang ada di dunia. Dari 56 negara Islam, Malaysia berada di posisi paling tinggi (peringkat 33), diikuti oleh negara Islam lainnya: Kuwait (42), Brunei (55), Bahrain (61), Uni Emirat Arab (64), Turki (71), Arab Saudi (91), Indonesia (104), Qatar (111), Maroko (120), Mesir (128), Iran (139), Bangladesh (141), Pakistan (145), Irak (148), dan lainnya yang tidak ikut disebutkan satu per satu. Kemudian, yang kedua adalah studi yang lebih luas lagi berjudul "How Islamic are Islamic Countries?" atau mereka menyebutnya juga sebagai derajat "keislamian" dari negara-negara Islam. Studi yang kedua ini meliputi beberapa variabel dengan rumus, (I2)=(EI2)+(LGI2)+(HPI2)+(IRI2). 

Beberapa variabel yang dimaksud dalam rumus, yaitu Indeks Keislamian Ekonomi (EI2), Indeks Keislamian Hukum dan Pemerintahan (LGI2), Indeks Keislamian Hak Asasi Manusia dan Politik (HPI2), dan Indeks Keislamian Hubungan International (IRI2). Dari hasil pengukuran dan penilaian tersebut, rata-rata derajat "keislamian" dari 56 negara Islam berada di bawah rata-rata seluruh Islamicity Index(I2) dari 208 negara yang diikutsertakan. Selandia Baru mendapatkan posisi pertama dari 208 negara, diikuti berurutan: Luxemburg, Irlandia, Islandia, Finlandia, Denmark, Kanada, Inggris, Australia, dan Belanda di peringkat 10 teratas. Sedangkan Indonesia (peringkat 140) masih di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (37), Malaysia (38), Filipina (59), Thailand (78), Timor-Leste (107), dan Vietnam (134). Namun, perlu diingat bahwa hasil dari studi ini dikeluarkan pada tahun 2010 dimana setelah beberapa tahun lamanya bisa mengalami banyak perubahan.

Beberapa hari yang lalu, telah kita dengar bersama bahwa Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono membuat surat permohonan maaf kepada Ketua Umum PDI-Perjuangan dan seluruh kader PDIP di seluruh Indonesia yang ditandatangani di atas materai tanggal 1 Agustus 2017. Oleh sebab itu, sebaiknya kita harus lebih teliti lagi jika harus menuduh tanpa bukti yang pasti kepada pihak-pihak tertentu. 

Mungkin ini bentuk teguran pula dari Sang Pencipta untuk seluruh masyarakat Indonesia. Namun anomali tak dapat dihindari. Masih ada saja orang yang percaya isu-isu mengenai kebangkitan PKI. Lagi-lagi kita harus menyalahkan rezim Orde Baru yang kelewatan memainkan isu komunisme. Masyarakat Indonesia menjadi tidak terdidik karena mendapatkan informasi yang dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan saja. 

Kepalsuan pemerintahan Soeharto semakin kentara seperti yang diungkapkan oleh Dr. M. Busyro Muqoddas di acara ILC, "Ada kasus gerakan-gerakan radikal yang mengusung cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), waktu itu HTI belum masuk, belum ada HTI. Itu bersarang di kampus-kampus di antaranya di Jogja. Nah, orang-orang ini datang dari Jakarta. Dan kemudian mereka melakukan provokasi-provokasi kepada mahasiswa-mahasiswa, lalu mahasiswa ditangkapi oleh tentara kala itu. 

Saya dan sejumlah teman advokat mendampingi para mahasiswa yang ditangkap itu. Saya tutup kasus masa lalu itu dengan kasus 'Komando Jihad' yang rapi, yang sistemik, terstruktur, masif. Berlangsung 1976 sampai 1983, yang dilatarbelakangi dengan membuat isu 'komunis mau bangkit lagi' dari Vietnam lewat Borneo (Kalimantan). Untuk melawan kebangkitan komunisme itu, ada operasi intelijen, disebut-sebut nama Letjen Ali Moertopo. Lalu mendekati mantan tokoh-tokoh Darul Islam dan NII kala itu, diajak bisnis. Kemudian dibuat suatu skenario, ini untuk melawan komunisme perlu dibentuk Komando Jihad." Untuk itu saya sarankan, harap berhati-hati bagi teman-teman dan saudara setanah air yang suka mensyiarkan bangkitnya komunis di Indonesia.

Sepertinya keanomalian di dalam masyarakat ini 'setengah mati' sulitnya untuk dihindari. Ada sekelompok orang yang menolak dan tidak mempercayai demokrasi, tetapi memanfaatkan sarana yang diberikan oleh demokrasi untuk berunjuk rasa turun ke jalan raya. Jikalau demokrasi itu dianggap thaghut, kenapa tetap melakukan demonstrasi yang tidak ada dalilnya? Di negara demokrasi, sangatlah mudah untuk melakukan demonstrasi, mengumpulkan massa dan membuat keramaian dan kemacetan di jalanan.

Namun, kenikmatan demonstrasi tidak akan bisa dirasakan di negara komunis layaknya di Korea Utara. Juga akan sulit ditemukan di beberapa negara di Timur Tengah yang mengharamkan hal-hal semacam itu. Juga jika sedikit cermat, ketika kita melihat ke belakang sejarah negeri kita, selama sekitar 30 tahun terbungkam sunyi, maka betapa beruntungnya masyarakat saat ini bisa bersuara dan berekspresi atas nama demokrasi. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Mungkin terlalu banyak hingga sulit dihitung, apalagi jika dikalikan jumlah orang yang melakukan hal yang sama. Hidup reformasi! Hidup demokrasi! NKRI harga mati!

"Wahai, kalian yang telah meraih iman! Hendaklah kalian senantiasa teguh dalam pengabdian kepada Allah, menjadi saksi terhadap kebenaran dengan seadil-adilnya; dan jangan pernah biarkan kebencian terhadap siapapun mendorong kalian ke dalam dosa penyimpangan dari keadilan. Berlaku adillah: ini yang paling mendekati kesadaran akan Allah. Dan, tetaplah sadar akan Allah: sungguh, Allah Maha Mengetahui segala yang kalian kerjakan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun