Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunisme dan Islamisme

8 Agustus 2017   11:06 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:41 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://www.re-tawon.com

Masih dikutip dari buku Khazanah Aswaja, Ikhwanul Muslimin yang dalam bahasa Indonesia berarti "Persaudaraan Muslim" merupakan organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah Islam di Mesir dan dunia Arab. Organisasi yang dipelopori oleh Hasan al-Banna ini melahirkan sejumlah organisasi Islam lainnya, baik di Mesir maupun di luar Mesir. Para pendiri organisasi ini, antara lain Hafidz Abdul Hamid, Ahmad al-Misri, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail 'Izz, dan Zaki al-Maghribi, selain al-Banna sendiri. Mereka berkumpul pada 1928 di Kota Islamiyyah. Pada perkumpulan itu, mereka sepakat mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin. Saat itu, Hasan al-Banna bertugas sebagai pengajar di Madrasah Ibtida'iyah.

Abdul Mun'im al-Hafni menyebutkan bahwa pelopor Ihwanul Muslimin, Hasan al-Banna dianggap pemerintahan Mesir menyebarkan dakwah Islam sesuai yang dipahami, dinilai sebagai dakwah bercorak Salafi, tarekat Sunni, hakikat Sufi, organisasi politik, organisasi ilmiah dan pendidikan, badan usaha perekonomian, dan pemikiran sosialis. Mengenai hal itu al-Banna menjelaskan, pemahamannya tentang Islam secara komprehensif menyebabkan dakwah yang dibawanya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Sebab, Islam berkaitan dengan akidah, ibadah, bangsa, kewarganegaraan, agama, negara, spiritual, mushaf, dan juga pedang.

Sayyid Quthub adalah pemikir dan salah seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin dan organisasi-organisasi Islam lain pecahan dari Ikhwanul Muslimin. Dalam bukunya yang berjudul Ma'alim fi at-Thariq, Quthub menjelaskan: "Yang pertama harus dilakukan Umat Islam adalah menciptakan masyarakat yang Islami sehingga permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi dapat terselesaikan. Sebab, meskipun solusi yang ditawarkan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut adalah islami, tetapi jika kondisi masyarakatnya belum islami, maka solusi-solusi itu tidak akan berarti. Perlu diketahui, masyarakat yang ada sekarang adalah masyarakat Jahiliyah, padahal dalam sejarah telah tercatat bahwa masyarakat Jahiliyah selalu memerangi dan tidak memberikan kenyamanan kepada masyarakat mukmin. Karena itu, dibutuhkan kekuatan untuk menghadapi masyarakat Jahiliyah tersebut, yakni kekuatan menghancurkan dan mengalahkan mereka." Ajakan menghimpun kekuatan dan memberi solusi dalam rangka melakukan revolusi Islam inilah yang menyebabkan terjadinya perseteruan antara pihak pemerintah dengan Ikhwanul Muslimin, hingga menyebabkan terjadinya pertumpahan darah pada Juli 1954, yaitu dalam tragedi Mansyiat Nashr. Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir kali itu, menangkap para aktivis dan anggota jama'ah ini dan menindaknya secara tegas. Ada 6 orang dari anggota jama'ah yang dihukum mati, di antaranya Abdul Qadir 'Audah dan Sayyid Quthub.

Sebagai dampak pertumpahan darah tersebut, juga sebagai dampak kitab Ma'alim fi al-Thariqyang ditulis oleh Sayyid Quthub, jama'ah Ikhwanul Muslimin pecah menjadi empat kelompok. Pertama, sekelompok orang yang ingin meneruskan apa yang telah dirintis Hasan al-Banna sebelum terjadinya konflik dengan pemerintah. Kedua, sekelompok orang yang mengaku sebagai orang-orang Salaf. Mereka berpendapat, dalam rangka menghadapi masyarakat Jahiliyah, kita tidak perlu mengingkarinya dengan tangan (kekuatan) atau lisan, tetapi cukup dengan hati. Ketiga, jama'ah at-Takfir wa al-Hijrah. Mereka mengharuskan semua anggotanya untuk meninggalkan masyarakat Jahiliyah dan berhijrah ke suatu tempat sehingga mereka dapat menyusun kekuatan di sana. Setelah berhasil menyusun kekuatan, mereka akan menghancurkan masyarakat Jahiliyah yang mereka anggap sebagai orang-orang kafir. Keempat, Jama'ah al-Jihad yang berpendapat, perang melawan pemerintah kafir merupakan suatu kewajiban dalam Islam. Mereka menganggap cara ini sebagai satu-satunya cara untuk mendirikan Negara Islam.

Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin awalnya hadir melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi gerakan tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keterkaitan partai ini dengan Ikhwanul Muslimin diakui Mantan Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta. Secara lebih tegas, keterkaitan PKS dengan Ikhwanul Muslimin dikatakan oleh pendiri partai ini, sekaligus mantan anggota Dewan Syari'ah PKS, Yusuf Supendi. Dalam bukunya yang berjudul Replik Pengadilan Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS, ia menjelaskan bahwa Ketua Majelis Syuro PKS memiliki kekuasaan tinggi yang dikenal dengan istilah Muraqib 'Am, yaitu Pemimpin Tertinggi Jama'ah Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Kekuasaan ini diamanatkan dalam aturan pertama, yang sangat rahasia, bernama Nizham Asasi (aturan dasar) yang bersumber dari Nizham 'Am (aturan umum) yang diterbitkan oleh Ikhwanul Muslimin Pusat di Mesir. Nizham Asasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia disahkan oleh Musyawarah Majelis Syuro PKS di Jakarta pada Selasa, 25 Juli 2000.

Ahmadiyah (Qadiyaniyyah) merupakan sebuah kelompok yang sangat fanatik kepada Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Mirza Ghulam lahir di Qadiniyan, India pada 1281 H. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya seorang mujaddid (pembaharu) dan pengikut Nabi saw., meskipun ia juga menerima wahyu. Kedudukannya tidak sama dengan kedudukan Nabi Muhammad, karena Nabi saw. adalah Nabi yang terakhir dan tidak ada nabi lain setelahnya yang membawa syari'at. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, Allah swt. mengutus lagi nabi yang tidak membawa syari'at. Di antara nabi-nabi yang tidak membawa syari'at tersebut, menurut keyakinan Ahmadiyah, adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Dialah nabi di bawah naungan Nabi Muhammad.

Arti Ghulam Ahmad adalah "Hamba Ahmad" atau Hamba Muhammad. Karena inilah, kelompok Qadiyaniyah terkenal dengan nama "Ahmadiyah". Hal ini berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Barat dalam menyebut para pengikut sebuah kelompok dengan menyebutkan nama pendirinya. Dalam rangka menyebarluaskan akidahnya, al-Qadiyani menerbitkan majalah berjudul Majalah al-Adyan. Ia juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam sejumlah kitab, antara lain Barahim al-Ahmadiyyah, Anwar al-Islam, Nur al-Haq, Haqiqat al-Wahyi, Tuhfat an-Nadwah, Syahadat al-Qur'an, dan Tabligh Risalah.

Aliran Qadiyaniyyah ini banyak dipengaruhi oleh kondisi kaum Muslimin di India, di mana pada saat itu mereka menjadi kaum minoritas yang tertindas. Dari sini al-Qadiyani memandang bangsa Inggris adalah penolong dan pelindung kaum Muslimin di India. Ia tidak perlu untuk melakukan perlawanan atau pemberontakan terhadap penduduk bangsa Inggris di India. Ia berpendapat bahwa pendudukan bangsa Inggris tersebut justru dapat memberikan jaminan keamanan kepada kaum Muslimin di India. Dalam pandangannya, jihad mempertahankan tanah air tidak wajib dilaksanakan. Sebab, jihad hanya boleh dilakukan dalam rangka mempertahankan akidah saja. Dalam hal ini, al-Qadiyani menilai bangsa Inggris tidak melarang kaum Muslimin menjalankan syariat-syariat agamanya, sehingga sudah selayaknya kaum Muslimin tetap menjaga perdamaian dengan mematuhi hukum-hukum bangsa Inggris. Al-Qadiyani telah menetapkan tiga syarat diperbolehkannya jihad, yaitu [1] jika orang-orang kafir melakukan penyerangan terlebih dahulu, [2] jika penindasan mereka terhadap kaum Muslimin telah pada puncaknya sehingga tidak ada alternatif lain selain berperang, dan [3] jika tujuan penindasan atau penyerangan yang dilakukan orang-orang kafir tersebut bertujuan untuk mengusir kaum Muslimin dan melenyapkan Islam dari muka bumi ini. Pada saat semacam itulah, tidak ada pilihan bagi kaum Muslimin selain berjihad dengan sungguh-sungguh, yaitu jihad membela diri dan menjaga agama mereka. Meskipun demikian, harus diupayakan lebih dahulu berdialog dan berunding, karena jihad dengan cara semacam itu akan mendatangkan hasil yang lebih baik daripada jihad dengan menggunakan pedang.

Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, para pengikut aliran Qadiyaniyah pecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang berpendapat Mirza Ghulam Ahmad benar-benar seorang Nabi dan bahwa aliran Qadiyaniyyah atau Ahmadiyah adalah sebuah agama. Pendapat ini dikemukakan oleh anaknya, Nuruddin yang kemudian diteruskan oleh Mirza Basyir Ahmad. Menurut mereka, ruh-ruh Nabi Muhammad, Isa, dan nabi-nabi lainnya telah menitis dalam diri Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Oleh sebab itu, ketika ia berbicara sebenarnya ia berbicara atas nama mereka. Sedangkan kelompok yang kedua, berpendapat bahwa Mirza hanyalah seorang Wali Allah. Ia hanya seorang mujaddid (pembaharu) awal abad ke-14 H, seperti telah dijelaskan dalam perkataannya sendiri. Hal ini juga sesuai dengan Hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap 100 tahun, orang yang akan melakukan pembaharuan dalam agamanya." Kelompok kedua ini disebut dengan Ahmadiyah Lahoriyyah yang dipimpin oleh Maulat Muhammad Ali. Ia telah menyusun sebuah kitab berjudul Bayan al-Qur'an. Ia juga menggunakan tafsir dan takwil dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Qadiyani, sehingga menurutnya, al-Qadiyani bukan nabi yang diutus Allah. Menurutnya, Nabi Muhammad saw. adalah penutup para Nabi. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan ada seseorang di antara umatnya yang dapat berdialog dengan Allah, tetapi ia masih tetap menjadi umat Nabi Muhammad. Maka hanya dengan izin dari Nabi saw., al-Qadiyani berbicara. Aliran ini mengkafirkan orang yang tidak percaya kepada al-Qadiyani, meski ia seorang Muslim. Mereka tidak membolehkan shalat jenazah atas orang-orang yang tidak mempercayai al-Qadiyani.

Kelompok selanjutnya adalah organisasi Jama'ah Islamiyah (JI) Indonesia, yang terkait erat dengan aktivitas para pejuang Muslim Indonesia, juga Malaysia, yang pernah ikut serta membela kepentingan umat Islam dalam peperangan di Afghanistan melawan rezim Komunis Uni Soviet pada awal tahun 80-an. Selain itu, berdirinya JI juga terkait erat dengan apa yang disebut dengan Negara Islam Indonesia (NII). Organisasi JI didirikan oleh beberapa aktivis NII, seperti Ustadz Abdul Halim (Ustadz Abdullah Sungkar, yang juga pendiri pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta). Di kala itu, Abdul Halim adalah aktivis NII yang bergabung dengan kekuatan Mujahidin Afghanistan berjuang melawan Komunis Uni Soviet. Penulis buku "Membongkar Jamaah Islamiyah, Pengakuan Mantan Anggota JI", Nasir Abbas menyatakan bisa dikatakan bahwa JI adalah pecahan dari NII. Persisnya, JI didirikan pada Januari 1993 di Torkham, Afghanistan.

Organisasi JI termasuk salah satu gerakan Islam radikal yang menganut prinsip jihad di jalan Allah dalam segala aspek dan setiap sendi kehidupan. Jihad dalam hal ini diperuntukan bagi penegak Syariat Islamiyah di mana pun aktivis dan anggota organisasi ini berada. Karena itulah, menurut kelompok ini, jihad adalah jalan suci satu-satunya yang diwajibkan Allah untuk dilaksanakan umat Islam tanpa terkecuali. Dalam melaksanakan 'aksinya' kadang sebagian anggota JI menghalalkan jalan kekerasan, termasuk bom bunuh diri. Ini tampak dalam kasus peledakan beberapa bom, seperti Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Malam Natal 2000, dan Bom Kedubes Australia yang didalangi dan dilakukan oleh para aktivis JI, seperti Imam Samudra, Mukhlas, Ali Imran, dan Ghufran, serta pimpinan teroris di Indonesia, Dr. Azhari dan Noordin M. Top, keduanya warga negara Malaysia dan anggota terpenting JI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun