Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunisme dan Islamisme

8 Agustus 2017   11:06 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:41 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://www.re-tawon.com

Ketika pertama kali muncul pada Khalifah Utsman dan Ali, kaum Murji'ah mewakili pandangan yang lunak dan moderat di tengah berbagai kubu yang keras mendukung atau menentang Utsman dan Ali. Namun pada masa Umayyah, sikap moderat ini perlahan merosot menjadi determinisme murni, hingga tak ada bedanya lagi dengan kelesuan moral masyarakat dan menjadi alat rezim Umayyah yang lalu mendukung penyebaran pandangan mereka. Kaum Murji'ah yang mengambil sikap netral di tengah perselisihan politik antara Khalifah Ali dan lawan-lawannya itu belakangan disebut juga kaum Mu'tazilah (netralis) dan kaum Jabariah (predeterminis). Tradisi kalangan netralis (dalam politik) dan moderat (dalam agama) ini, yang terdiri atas mayoritas Sahabat dan warga Madinah, sebenarnya dapat ditemukan di Madinah pada masa Bani Umayyah. Pemuka agama di Madinah tidak pernah memberontak dan malah sibuk menggarap Ilmu Hadits dan Fikih, Etos kesalehan, amalan, dan moderasi dari Madinah---yang sangat penting karena kedudukannya sebagai pusat perkembangan Islam pada abad-abad awal---mewarnai perkembangan ortodoksi Islam selanjutnya, yang terutama dicirikan oleh pergeseran ekstrimisme ke arah moderasi.

Melanjutkan kutipan buku yang diterbitkan kembali oleh Universitas Chicago pada 1979 dan 2002: Tradisionalisme ortodoks sayap-kanan diwakili oleh Ibn Hanbal dan mazhabnya. Semangat Islam yang mencakup segala hal dapat mengkristal berkat para pengumpul Hadits. Dengan tilikan ortodoksnya yang luas, mereka memasukkan sejumlah materi otoritatif ke dalam Hadits yang dapat menghimpun dan menyatukan berbagai pandangan dan pendapat yang sebelumnya tak terwadahi. Ia tidak ditandai oleh kebijaksanaan eksternal atau superfisial, melainkan kecermatan dan tilikan terhadap semangat ajaran Nabi dan pemahaman umat generasi awal terhadapnya. Hadits ditampik oleh kaum Mu'tazilah, yang perlahan mulai terkikis pada paruh kedua abad ke-3 H/9 M; inilah satu-satunya hipotesis yang dapat menjelaskan keberhasilan mutlak Hadits pada abad tersebut. Tetapi keberhasilan Hadits bukan karena rumusan dan muatannya seperti tak berbentuk, melainkan karena pada dasarnya ia mengungkapkan semangat realisme keagamaan yang mencirikan al-Qur'an dan umat generasi awal. Ia memasukan semua unsur keagamaan yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur'an pada naungan Sunnah. Seiring perkembangan Hadits, berkembang juga gerakan yang kecewa terhadap aliran rasionalis yang klise. Pandangan-pandangan mereka yang lebih baru perlahan mulai terbentuk berkat persinggungan dan penerimaan terhadap tradisi.

Tokoh paling tersohor dari gerakan baru ini, yang menjatuhkan kaum Mu'tazilah dengan dialektikanya sendiri, adalah Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 330 H/942 M) yang berpisah dengan gurunya yang Mu'tazilah, al-Jubba'i, karena berpendapat bahwa Keadilan Tuhan tak dapat ditentukan dalam batasan manusia. Rumusan dogma al-Asy'ari pada dasarnya berusaha memadukan pandangan ortodoks yang terserak dengan pandangan Mu'tazilah. Ini, seperti yang ditunjukan dalam buku, persis merupakan etos ortodoksi. Tetapi, rumusan aktualnya jelas menampakkan reaksi ortodoksi terhadap doktrin Mu'tazilah yang sulit dilepas begitu saja. Karenanya, ia adalah separuh sintesis dan separuh reaksi. Terkait kebebasan kehendak manusia, ia mengembangkan doktrin 'akuisisi' berdasarkan sejumlah teks al-Qur'an. Menurut doktrin ini, semua perbuatan diciptakan dan dihasilkan Tuhan, tetapi ia bertaut dengan kehendak manusia yang kemudian 'mengakuisisinya'. Rumusan ini berusaha mengimbangi kenyataan psikologis bahwa manusia sadar berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Pertama, manusia tidak hanya sadar menguasai perbuatannya, tetapi juga menghasilkan perbuatan tersebut; dan Mu'tazilah maupun lawannya mengetahui argumen tersebut. Kedua, persoalan yang disoroti al-Asy'ari lebih bersifat moral ketimbang psikologis: bagaimana mendamaikan kekuasaan Tuhan dengan tanggung jawab manusia. Jika kesadaran manusia atas perbuatannya itu diciptakan Tuhan, sebagaimana yang diyakini al-Asy'ari, maka manusia tidak dapat 'memperoleh' keduanya sekaligus. Prinsipnya, kekuasaan sepenuhnya milik Allah sedangkan tanggung jawab tetap berada pada manusia. Prinsip ini, meski agak metafisik, adalah prinsip moral dan religius.

Sistem teologi lain yang berkembang hampir bersamaan dengan al-Asy'ari adalah yang dirintis oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/945 M) dari Samarkand, Transoxiana. Maturidiyah sangat mirip dengan Asy'ariyah dalam hal-hal pokok, tetapi berbeda dalam beberapa hal penting. Al-Maturidi, sebagaimana al-Asy'ari, memandang bahwa semua perbuatan dikehendaki Tuhan, tetapi berbeda dengan al-Asy'ari, menurutnya perbuatan jahat tidak disertai 'kerelaan' Tuhan. Selain itu, meski menekankan Kekuasaan Tuhan, Maturidiyah masih mengakui peran kehendak manusia, dan belakangan, menegaskan kebebasan mutlak manusia dalam bertindak. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua sistem ini saling berinteraksi secara bebas, dan doktrin tentang nihilnya kehendak manusia sudah kehilangan pamor, meski dogma Asy'ariyah yang ditopang sejumlah Hadits penting masih mempertahankannya.

Persoalan penting yang banyak dibahas teolog Muslim ketika itu adalah mengenai 'derajat iman'. Ini terkait dengan soal iman dan amal, juga dengan soal Kekuasaan dan Kasih Tuhan yang dipengaruhi teologi spekulatif. Mereka meyakini, seperti Mu'tazilah dan Khawarij, bahwa amal adalah bagian tak terpisahkan dari iman, juga percaya bahwa derajat iman dapat naik dan turun, dapat dihitung---dan bisa sampai nihil meski yang bersangkutan mengaku beriman. Sementara kaum Murji'ah memandang kualitas iman tak dapat dianalisis, tidak punya derajat dan ukuran. Ahli kalam Sunni pada prinsipnya menengahi keduanya, tetapi secara umum lebih condong pada Murji'ah. Sikap ini jelas bertujuan mencegah fanatisme dan persekusi, dan untuk itu kaum Sunni berpendapat bahwa keimanan yang lahir dari pengakuan iman yang tulus tak dapat dihapuskan oleh apa pun dari luar, meski dari sana kadarnya bisa naik dan turun. Al-Qur'an sering menekankan bertambahnya iman dan menyerukan agar beramal atas dasar iman. Hadits juga menyebut hubungan erat antara amal dan niat yang menganjurkan moderasi, dan bahwa seseorang tak akan dihukum selamanya di neraka selama masih ada 'secuil iman', juga digunakan para teolog dalam hal ini. Sejak itu para ulama membatasi fungsi 'keruhaniannya' pada soal iman dan mengeluarkan fatwa mengenai masalah hukum lahiriah saja. Hal ini menjelaskan naiknya gerakan sufi anti-ortodoks, yang mendaku paling berhak menangani kesehatan batin dan spritual seseorang.

Sementara itu, perpecahan terjadi dalam tubuh ortodoksi sendiri. Kelanjutan aliran tradisional Madinah yang tidak hanya menolak solusi teologi dialektis Asy'ariyah, tetapi bahkan menolak teologi dialektis itu sendiri. Mereka menuduh kaum Mu'tazilah mengkhianati semangat al-Qur'an dan Sunnah karena membelanya dengan rumusan rasional. Meski demikian, Asy'ariyah sebagai sistem dogma perlahan dapat mengatasi sanggahan-sanggahan terhadapnya hingga akhirnya diakui di Timur pada abad ke-11 H/17 M berkat upaya wazir Bani Seljuk, Nizam al-Mulk, serta teolog dan pembaru agama ternama, al-Ghazali. Perseteruan antara semangat religius Ahli Hadits dan kecenderungan rasional Ahli Kalam terus berlanjut dan memuncak hingga pada abad ke-7 dan 8 H/ 13 dan 14 M, yang ditandai oleh bangkitnya gerakan puritan Ibn Taimiyah dan alirannya. Tetapi sebelum itu, Ahli Kalam mesti menghadapi dulu gerakan rasional yang lebih saksama dari para filsuf Muslim.

Gerakan filsafat Islam merupakan kelanjutan dari kalam Mu'tazilah. Terhadap sistem rasionalis para filsuf itu, al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengajukan tanggapan pertama yang monumental dari segi kedalaman dan pengaruhnya. Sebagai seorang pencari spiritual, ia telah melalui serangkaian kemelut spiritual. Pada awalnya, ia kecewa terhadap teologi-kalam tradisional karena formalisme dan eksternalistasnya. Untuk mencari kebenaran, ia pun mempelajari filsafat, tetapi ia menganggap ajarannya jauh dari Islam ortodoks dan pembuktiannya tidak punya kepastian. Dalam keyakinan agama, ia mencari semacam kepastian matematis. Hal ini, mengingat perimbangan dalam struktur Islam ketika itu, ia temukan hanya dalam Sufisme (mistisme Islam). Itulah sebabnya, setelah mematahkan tesis para filsuf dalam karyanya, Tahfut al-Falsifah, al-Ghazali tidak mengajukan sistem filsafat lain. Jawabnya, tak ada metafisika yang murni rasional yang dapat memuaskan kebutuhan agama akan kepastian. Tetapi, meskipun menolak filsafat Islam-Yunani secara umum, ia masih mengambil keyakinan tertentu di dalamnya. Ia pun akhirnya mengambil dari para filsuf suatu pandangan yang sesuai dengan etik sufi bahwa inti manusia hanya ruhaninya, bukan jasmaninya.

Jika pencarian kepada kepastian agama membawa al-Ghazali pada mistisme, mistisme membawanya kembali kepada penemuan konsepsi al-Qur'an tentang Tuhan sebagaimana dirumuskan dalam kalam Asy'ariyah. Demikianlah ia menjadi pembaru Sufisme pertama dan memperoleh kedudukan dalam struktur ortodoksi Islam. Yang lebih penting, ia menautkan rumusan kalam ortodoks yang formal dan dogmatis dengan agama yang hidup, sehingga berhasil membangkitkan kembali keduanya dengan semangat wahyu. Ia menghantam skolastisisme murni, melunakkan watak dogmatis ajaran agama, dan menjembatani aspek lahir dan batin agama. Dengan itulah ia menyusun karyanya, Ihy' 'Ulm al-Dn ('menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama'). Ia menolak klaim sufi yang ekstrim, seperti peleburan, penyatuan, dan inkarnasi. Ia tidak sedang mengupayakan estetika dan seni beragama, melainkan moralitas keagamaan. Sintesis antara Sufisme dan kalam yang dicapai al-Ghazali umumnya diterima oleh ortodoksi dan disahkan oleh Ijma' (konsensus). Kekuatannya terletak pada landasan spiritual yang ia sediakan untuk menopang semangat praktik moral Islam.

Bagaimana, sudah cukup jelas atau malah bertambah pusing? Tentunya kita tidak bisa mengambil seluruh bagian dari sebuah buku, karena akan sangat panjang jika dituliskan semuanya. Sebaiknya kita membaca kembali buku-buku yang dikutip dalam tulisan ini secara utuh, agar tidak menciptakan kerancuan dan kesalahpahaman. Oleh karena sejarah panjang Islam yang begitu kompleks, banyak orang yang tidak mau ambil pusing tentang perkembangan ajaran Islam selepas Rasulullah saw. wafat, yang kemudian terjadi gelombang krisis kepercayaan antar umat, salah satunya ialah kaum Wahabi. Kaum Wahabi begitu puritan sehingga dalam memahami al-Qur'an dan Hadits seringkali hanya bersifat tekstual, yang seharusnya dipahami secara kontekstual agar tepat maksud dan tujuannya. Bahkan ada beberapa Ulama mengategorikan aliran Wahabi sebagai bentuk lain dari sekte Khawarij dikarenakan sering mengkafirkan lawan politiknya. Untuk itu, penting bagi kita mengetahui kelompok dan aliran yang ada dalam sejarah Umat Islam.

Kita kembali mengambil beberapa ulasan dalam buku Khazanah Aswaja tentang kelompok dan sekte-sekte yang terbentuk di kalangan Umat Islam. Yang paling terkenal di antara yang lain dan akrab di telinga kita belakangan ini, ialah Syiah. Secara etimologis, kata "Syiah" dalam bahasa Arab berarti pengikut atau pendukung. Secara terminologis, Syiah mengklaim sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat imamah merupakan hak Ali ra. yang telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur'an maupun wasiat Nabi saw., baik secara eksplisit maupun implisit. Mereka meyakini bahwa imamah tidak akan jatuh ke tangan orang lain selain keturunan Ali ra. dan jika jatuh ke tangan orang lain, maka hal itu disebabkan karena kezaliman orang tersebut. Mereka juga berpendapat, masalah imamah (kepemimpinan) bukanlah masalah kemaslahatan umat yang diperoleh dengan cara pemilihan umum, tetapi merupakan permasalahan pokok agama Islam (rukn ad-din). Mereka sepakat bahwa para Nabi dan Imam Syiah adalah ma'shum (terhindar dari dosa), baik dari dosa kecil maupun dosa besar. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa tawalli (menolong para imam) dan tabarri (meninggalkan musuh-musuhnya) wajib hukumnya, baik dilakukan dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dalam hal ini, sebagian pengikut kelompok Syiah Zaidiyyah tidak sependapat dengan mereka. Meski kelompok Syiah sepakat dalam masalah pengangkatan Imam, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak menjadi Imam. Permasalahan inilah yang menyebabkan munculnya beberapa mazhab dan aliran dalam kelompok Syiah. Jika dalam Ahlussunnah dikenal al-Kutub as-Sittah sebagai kitab-kitab induk, dan al-Bukhari sebagai kitab hadits terbaiknya, maka dalam Syiah ada al-Kutub al-Arba'ah sebagai acuan utama mereka, yakni al-Kafi, Man La Yadhuruhul Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan al-Istibshar. Isi keempat kitab hadits induk yang menjadi rujukan utama Syiah setelah al-Qur'an.

Dari keempat kitab hadits utama Syiah, al-Kafi yang disusun oleh al-Kulaini adalah kitab yang pertama kali disusun. Kitab ini tidak hanya memuat hadits-hadits mengenai Fikih, akan tetapi juga mencakup tentang akidah, sejarah para ma'shumin (orang-orang yang ma'shum menurut Syiah), dan 14 orang-orang suci, yakni Nabi Muhammad saw., Sayyidinah Fathimah az-Zahra dan 12 Imam Syiah. Lalu kitab Man La Yadhuruhul Faqih yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn Husain, yang dikenal dengan julukan Syaikh ash-Shaduq atau "maha guru yang jujur". Kitab ini adalah karya hadits ahkam atau hadits-hadits mengenai hukum. Di dalamnya tertampung 5963 hadits, dengan 2050 hadits mursal, hadits yang terputus periwayatannya dan sisanya hadits-hadits musnad, bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah. Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar disusun oleh tokoh yang dianggap paling utama dalam madrasah (mazhab) ahlul bait pada zamannya, yakni Abu Ja'far Muhammad ibn Hasan at-Thusi (385-469 H). Bagi umat Syiah, kedua kitab ini merupakan karya besar ilmu hadits dan sejajar dengan kitab Man La Yadhuruhul Faqih. Kedua kitab ini juga lebih bercorak hadits-hadits ahkam. Tetapi yang membedakan dengan kitab Syiah yang lain, yakni kedua kitab tersebut penuh dengan analisis fiqhi dan visi-visi argumentasi, serta isyarat-isyarat tentang kaidah ushul al-fiqh dan rijal. Dalam Tahdzib al-Ahkam terdapat 13.590 hadits, sedangkan dalam al-Istibsharterdapat 5511 hadits.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun