Raut wajah Mita tampak kesal, bisa-bisanya Pak Marwan berbuat seenaknya.
"Ah, peduli amat dengan aturan! Yang jelas aku butuh bantuanmu kali ini. Tiga kali ke sini tapi pinjamanku gak cair juga."
"Udahlah Bos, saya pamit. Ingat ya Bos, atasan saya itu Pak Fadli, bukan Anda!" tolak Mita seraya bangkit dari tempat duduknya.
"Eits, tunggu!" bentak Pak Marwan. "Kamu harus ingat, seharusnya kamu itu tetap menjadi bawahanku, tidak mengikuti Fadli. Dia curang. Anak buahku diembat seenaknya saja!" cerocos lelaki berpipi chubby itu melantur kemana-mana.
"Itu sudah ketetapan perusahaan, Bos. Â Lagi pula sabaiknya Bos ngomong saja langsung sama Pak Fadli, kalau punya nyali."
"Ckk!" Lelaki berkepala plontos itu hanya berdecak sambil memutarkan kedua bola matanya. Mita sangat paham si Bos yang satu ini tidak pernah berani komplen apapun terhadap Pak Fadli, atasan Mita yang sebenarnya. Rasa segannya terhadap pria kalem namun penuh wibawa itu masih sangat tinggi. Catat, partner-nya itu juga jauh lebih tampan dan penyabar.
"Nomor antrian 71 ditunggu di CS-3."
Sebuah panggilan membuyarkan obrolan  Mita dengan Pak Marwan.
"Tuh Bos, CS-3."
"Hmm."