Mohon tunggu...
Yani Nur Syamsu
Yani Nur Syamsu Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Biografometrik Nusantara

Main ketoprak adalah salah satu cita-cita saya yang belum kesampaian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan (Pernah) Percaya Kepada Redaktur Cerpen

5 Oktober 2017   21:32 Diperbarui: 5 Oktober 2017   22:27 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apabila dibalik kuduk anda acap kali berlintasan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Jika kejadian-kejadian itu kemudian membuntuti bahkan menghantui anda terus menerus. Dan segala konflik dan kekisruhan itu baru berakhir tatkala anda menuangkannya ke atas kertas atau mesin tik atau laptop. Maka yang harus anda lakukan adalah bersujud syukur kepada tuhan yang maha kuasa. Anda, seperti halnya saya, telah dipilih-Nya untuk menjadi seorang pengarang cerita. Bisa jadi banyak yang tidak percaya bahwa saya terlahir sebagai cerpenis. Di umur saya yang sudah empat puluh lima tahun, baru ada tiga biji cerpen karya saya yang dimuat di tiga koran yang berbeda, pada hari Minggu yang sama, oleh sebuah nama yang sudah sangat terkenal, seorang guru besar sastra, dan saya jelas bukan profesor.

Saya suka menulis cerpen sejak kelas satu sekolah menegah atas. Pada mulanya saya mengarang untuk anak-anak. Ceritera dewasa baru mulai saya tulis ketika sudah duduk di bangku kelas tiga. Dan di tahun 1983 itulah saya mempunyai cukup keberanian untuk mengirimkan hasil karya ke Koran dan majalah yang terbit di kota saya. Kalau tidak salah ada 10 naskah yang saya kirim, namun tidak ada satupun yang berhasil menembus seleksi redaktur cerpen.

Ketika memasuki dunia perguruan tinggi, saya tetap menulis cerpen meskipun dengan intensitas yang jauh menurun. Fakultas teknik jurusan kimia, dimana saya kuliah, memang bukan lingkungan yang kondusif untuk mekarnya sebuah cerita pendek. Namun lintasan berbagai peristiwa itu terus muncul dan mengganggu, seperti yang sudah saya sampaikan kepada sampeyan, gangguan ini baru berhenti jika saya telah mengolahnya menjadi sebuah cerpen. Setiap tahun paling banter 5 buah cerpen berhasil saya produksi. Meskipun tidak juga dimuat, saya merasakan kepuasan tersendiri ketika sudah mengirimkan naskah-naskah itu, baik melalui pos maupun langsung ke kantor media massa yang bersangkutan.

Setelah menyelesaikan kuliah, saya mendaftarkan diri untuk menjadi opsir polisi. Tidak seperti naskah-naskah saya yang selalu gagal, di kepolisian saya langsung lolos test. Setelah mengikuti pendidikan di sebuah Pusat Pendidikan Militer, sesuai dengan kesarjanaan saya, markas besar kepolisian menempatkan saya di Pusat Laboratoirum Forensik. Tugas kami adalah melakukan pemeriksaan ilmiah terhadap semua barang bukti kejahatan.

Tugas-tugas kepolisian yang padat membuat saya semakin jarang menulis cerpen, meskipun tumbukan ide terus saja memantul-mantul dilangit angan menuntut penuangan di atas kertas. Dalam jangka waktu satu tahun paling hanya dua cerpen yang berhasil kutulis.

Sampai akhirnya saya dipromosikan menjadi kepala salah satu Departemen di Laboratorium Forensik Cabang Denpasar, tiga tahun lalu. Sebagai kepala departemen saya tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan teknis, dengan demikian lebih banyak waktu yang bisa digunakan untuk merenung. Bali, sebagai wilayah yang kental dengan seni dan budaya juga punya peranan penting pada berkobar kembalinya semangat saya untuk mengarang cerita pendek.

Setelah puluhan tahun membuat cerita pendek, melahap berbagai buku teori menulis cerpen serta membaca cerpen-cerpen karya penulis ternama dalam dan luar negeri, saya merasa cerpen-cerpen karangan saya semakin matang. Terus terang, mudah-mudahan saya tidak terlalu subyektif, saya merasa sudah piawai membuat kalimat-kalimat pendek bernas. Menciptakan tokoh dan karakter-karakter yang kuat juga bukan merupakan sesuatu yang sangat sulit. Sekian tahun menangani berbagai macam kasus kejahatan menjadi semacam tabungan ide ceritera yang melimpah, yang setiap saat bisa saya sulap menjadi cerpen. Konflik-konflik yang terjadi dalam cerpen-cerpen yang saya tulispun menjadi beragam, semakin tajam dan menukik.

Setahun terakhir ini paling tidak ada tiga cerpen yang mestinya sangat laik muat. Jika anda penasaran dengan cerpen-cerpen itu, baiklah saya akan ungkapkan sinopsisnya, khusus untuk anda.

Cerpen pertama berjudul Nama. Tersebutlah seorang bupati bernama Tejo Bhaskoro. Tejo Bhaskoro adalah mantan aktifis mahasiswa yang sangat menentang keras penindasan rakyat oleh para pejabat. Demonstrasi adalah makanan sehari-harinya sewaktu masih jadi mahasiswa. Namun ketika berhasil merebut kedudukan sebagai bupati, Tejo Bhaskoro kehilangan idealismenya. Dia menjadi pejabat yang hanya memikirkan dirinya sendiri, korup, selingkuh, menumpas habis lawan-lawan politiknya dengan cara-cara kotor.

Sampai suatu ketika Tejo Bhaskoro ketiduran divila pribadinya. Ketika itu dia sedang menunggu kehadiran seorang selingkuhan. Dalam mimpinya Tejo bertemu dengan seseorang yang sangat mirip dengan dirinya sendiri. Sosok itu mengaku sebagai namanya sendiri, Tejo Bhaskoro, yang berarti cahaya matahari. Si nama menghardik dan memaki-maki sang bupati karena dianggap sudah mencemari nama baik Tejo Bhaskoro. Dalam mimpinya sang bupati tak berkutik dan berjanji akan memperbaiki sikap dan perbuatannya selama ini. Kembaranya itu mengancam jika Tejo tidak memenuhi janjinya, maka dia akan kembali dan menghapus Tejo Bhaskoro dari peredaran. Setelah bangun, Tejo ternyata tidak berubah. Bupati itu tambah merajalela dengan segala kebusukannya. Tidak diceritakan apakah namanya betul-betul menemuinya lagi atau tidak.

Cerpen kedua yang menurut saya juga tidak terlalu kalah dibandingkan cerpen-cerpen yang berhasil dimuat di koran-koran, berjudul "catatan seorang narapidana". Tokoh dalam cerpen ini adalah seorang perwira polisi yang nyaris sempurna. Trampil, trengginas, jujur, pandai, selalu menjadi yang terbaik dan seorang anak tunggal dari juragan beras yang kaya raya di sebuah desa di lereng gunung. Kelebihan lain dari perwira itu adalah berhati sangat welas asih kepada sesama sehingga sang ibu menjulukinya sebagai lelaki berhati embun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun