- " Beri aku 1.000 orang tua, niscaya bersama mereka kucabut Gunung Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda dengan semangat muda dan cinta Tanah Air yang membara, niscaya akan kuguncangkan dunia". Bung Karno, 31 Desember 1931, Kongres Indonesia Raya, Surabaya.
Denpasar - Cuplikan kalimat diatas pernah diucapkan oleh Bung Karno dengan berapi-apinya untuk membakar semangat para peserta kongres saat itu. Hasilnya kemerdekaan Republik Indonesia dapat diraih pada tanggal 17 Agustus 1945, yang beberapa hari lagi akan kita peringati bersama. Makna dari ucapan Bung Karno tersebut menyiratkan bahwa segala usia, baik itu tua dan muda bisa berguna dan menghasilkan karya besar bahkan monumental. Menariknya, bila ditelisik kembali kata-kata yang diucapkan tersebut, sepertinya Bung Karno ingin membuat perbedaan melalui perhitungan jumlah atau kuantitas. Kriteria usia lebih tua diperlukan jumlah 1.000 orang sedangkan yang usia muda cukup dengan 10 orang saja. Dalam satu tarikan kalimat yang tujuannya katakanlah hampir sama, yaitu menghasilkan karya monumental. Bung Karno hanya membutuhkan jumlah sedikit dari kaum muda. Wajar saja karena secara fisik dan jiwa serta pikiran kaum muda energinya lebih kuat dan segar. Terbukti, bahwa ucapan dari Bung Karno itu benar dan menjadi kenyataan. Sebut saja, sederetan peristiwa sejarah mulai dari : Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, Tritura 1966 (Orde Baru), Reformasi 1998. Semua peristiwa pergerakan Bangsa, selalu diprakarsai oleh kaum muda.
Berpikir kritis dan semangat yang bergejolak untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik merupakan karakterisrik dari kaum muda. Wajar, jika perubahan dunia termasuk di Indonesia selalu dimulai oleh kaum mudanya. Kaum muda ingin menemukan sesuatu yang baru dan lebih baik dari  kemarin serta menolak segala bentuk zona nyaman yang hanya menina-bobokan. Lompatan teknologi dunia yang dipelopori oleh sistem digital telah berpengaruh pada segala bidang dan perlu segera diantisipasi. Apalagi adanya bonus demografi yaitu usia produktif, merupakan kesempatan emas bagi bangsa Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045, nanti. Partai Solidaritas Indonesia, sebagai representasi dari kaum muda tentunya ingin mengawal  dan memastikan bahwa momen emas tersebut dapat diraih.
Perjuangan tersebut, tentunya melalui saluran konstitusional dan jalur politik yang ada. Hal ini telah dimulai sejak pilpres 2019 dengan ikut mencalonkan Jokowi sebagai Presiden dua periode. Selanjutnya adalah tantangan pada pilpres 2024, yaitu keinginan untuk meneruskan keberlanjutan ideologi program pembangunan yang bagus pada masa Jokowi melalui paham pembangunan "Jokowisme". Sebagai partai representasi kaum muda ingin melihat jalan baru yang lain serta memecahkan berbagai sumbatan demokrasi yang ada. Gejolak jiwa muda yang ada dalam diri dan biasa disebut oleh kaum tua "sedikit nyeleneh" perlu disuarakan. PSI melalui mekanisme  internal partainya yaitu, "Rembuk Rakyat" adalah partai yang pertama kali mengusulkan Ganjar Pranowo dan Yenny Wahid sebagai Capres dan Cawapres untuk tahun 2024. Hasil keputusan Rembuk Rakyat PSI ini, kurang lebihnya semakin mempopulerkan nama Ganjar Pranowo hingga menjadi sorotan (media darling) di pentas nasional.
Kilas balik sejarah lahirnya PSI, sebagai partai anak muda yang memiliki DNA anti korupsi dan intoleran. Tentunya, hal ini bertolak belakang dengan kunjungan Prabowo ke markas PSI beberapa waktu lalu. Diketahui bersama bahwa Prabowo, saat ini telah mendapat stempel dari lawan politik sebagai calon yang menggunakan kampanye intoleran saat pilpres 2019 walaupun akhirnya kalah. Namun, bila stempel ini hanya diarahkan pada Prabowo seorang, sepertinya kurang tepat. Saat kampanye pilpres 2019 lalu, Prabowo bersama Sandiaga Uno yang sekarang berada di kubu sebelah, namun tidak disematkan intoleran. Bila Sandiaga Uno tidak mendapat cap anti toleransi selayaknya, Prabowo sebagai Capres juga boleh bebas dari stigma tersebut. Apakah ini merupakan cara atau strategi untuk mengatasi kebuntuan atau sumbatan demokrasi pada internal partai yang ber DNA anti intoleran dan memperjuangkan hak asasi manusia? Sekaligus terobosan pembelajaran bagi demokrasi di Bangsa ini, waktu juga nanti yang akan menjawabnya.
Menariknya lagi, sorotan media seakan tidak berhenti  dan semakin diarahkan ke Partai Solidaritas Indonesia. Apalagi PSI, saat ini ingin memecah kebuntuan demokrasi lainnya, yakni terkait usia Capres. Pembatasan usia Capres, minimal 40 tahun dipandang oleh PSI telah mengambil hak konstitusi dari anak-anak muda yang ingin berkiprah di panggung politik. PSI ingin kesetaraan hak hadir sebagai syarat dasar kebebasan dan demokrasi. Padahal, bisa saja pemuda yang dibatasi menjadi Capres, termasuk dari kalimat "Beri 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia" yang dimaksud oleh Bung Karno saat dihadapan Kongres Indonesia Raya, tahun 1931. Uji materi pembatasan usia Capres yang diajukan oleh PSI, telah menjadi isu nasional bahkan dipelintir dan terus digoreng kemana-mana. Dukungan PSI hingga hari ini masih tetap pada Ganjar Pranowo, namun infonya pada bulan Agustus tahun 2023 ini, Partai akan menyelenggarakan mekanisme internal yaitu Kopdarnas. Rencananya Kopdarnas ini akan dihadiri oleh perwakilan dari seluruh pengurus, baik itu di pusat maupun daerah.Â
Apakah PSI sebagai partai akan melakukan terobosan kembali untuk memecah kebuntuan demokrasi? Apakah PSI akan meninjau ulang dan mendeklarasikan dukungan pada yang lain?
Mari kita tunggu bersama. ide dan gagasan nyeleneh berikutnya untuk memecah kebuntuan demokrasi yang ada.
Salam Demokrasi