Menindaklanjuti Surat Edaran Walikota Depok nomor 300/345, kemaren Satpol PP telah melakukan pencopotan lambang, simbol, bendera, spanduk, umbul-umbul, banner, reklame, dan sejenisnya, di atas trotoar, bahu jalan, badan jalan dan atau median jalan. Walikota Depok beralasan bahwa kebijakan yang dikeluarkan telah sesuai dengan Ketentuan Pasal 14 Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 5 Tahun 2022, tentang Penyelenggaraan Ketentraman Masyarakat dan Ketertiban Umum serta Pelindungan Masyarakat. Â Menurut Mohammad Idris, pemasangan boleh dilakukan jika mendapatkan izin atau rekomendasi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Secara aspek legal, tindakan yang dilakukan oleh Walikota Depok memang sudah benar. Namun, jika ditinjau dari aspek lainnya, yaitu aspek perbandingan antar wilayah dan aspek etika dapat menimbulkan perdebatan. Kebijakan Walikota Depok tersebut dapat memicu persoalan atau polemik yang baru. Apalagi jika kebijakan ini dirasakan hanya menyasar pada lawan politik tertentu, anggap saja Partai Solidaritas Indonesia. Diketahui bersama bahwa PSI telah memasang spanduk atau baliho mengusung Kaesang Pangarep yang akan maju sebagai kandidat pada pilkada 'Walikota" Depok tahun 2024.Â
Bila mengacu pada aspek perbandingan kebijakan tata ruang antar wilayah atau daerah. Maka, Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Mohammad Idris, sebagai Walikota telah menimbulkan perdebatan di ruang publik. Apalagi kebijakan pemerintah daerah lainnya terlihat belum sampai pada tahap menertibkan alat peraga kampanye.Â
Alangkah eloknya, jika Mohammad Idris dapat memberikan kelonggaran para calon yang akan berkontestasi untuk memasang alat peraganya sama seperti daerah lainnya. Sebaiknya, kebijakan yang dikeluarkan bukan untuk menertibkan tetapi edukasi atau sosialiasi aturan tata ruang untuk memasang alat peraga dan cara mengurus izinnya. Menyediakan lokasi atau ruang khusus untuk memasang alat peraga lebih tepat dari pada hanya sekedar menertibkan. Wajar jika saat ini kebijakannya telah menjadi isu liar dan menimbulkan kontroversi di masyarakat, apalagi medsos. Publik bisa saja memiliki persepsi bahwa Mohammad Idris sedang cawe-cawe dan ingin menyasar lawan politik tertentu.
Kebijakan yang dikeluarkan hendaknya mempertimbangkan asas universal sehingga dapat diterima secara umum dan sesuai dari aspek etika. Sosialisasi hendaknya dilakukan lebih dulu dengan mengundang para partai yang telah memasang spanduk dan baliho tersebut untuk duduk bersama. Etika budaya timur yang santun bisa ditonjolkan bukan Surat Edaran semata. Walikota juga perlu menaruh empatinya terhadap biaya yang telah dikeluarkan untuk memasang alat peraga oleh partai dan para caleg lainnya. Seandainya spanduk atau baliho yang ditertibkan tersebut dipindahkan dan dipasang kembali di lokasi yang disediakan oleh Walikota mungkin akan lain ceritanya dan tidak menimbulkan kegaduhan.
Alasan yang dikeluarkan oleh Mohammad Idris agar estetika kota Depok dapat terjaga, juga kurang tepat. Estetika atau keindahan suatu kota tidak ditentukan oleh semerawutnya alat peraga tetapi lebih ditentukan oleh kinerja Sang Walikota selama menjabat 7 tahun ini. Berapa banyak ruang hijau yang telah dibuat, penataan pasar, mengurai kemacetan, pohon, trotoar, lampu jalan dan sebagainya.Â
Kontroversi kebijakan ini bisa saja dipandang oleh lawan politik, dalam hal ini Partai Solidaritas Indonesia sebagai bentuk kekhawatiran Walikota serta partai pendukungnya semata. Padahal Partai Solidaritas Indonesia ingin melakukan perbaikan di kota Depok dan mulai menarik simpati warga kota Depok. Selayaknya Walikota Depok lebih fokus meningkatkan kinerjanya di sisa waktu yang ada daripada sibuk menghabiskan energi menurunkan alat peraga.  Apalagi PSI sebagai partai telah menyoroti tiga fokus utama perbaikan nantinya di kota Depok. Tiga fokus utama perbaikan yaitu rendahnya pendapatan per kapita, tingginya tingkat pengangguran terbuka dan merubah kota Depok menjadi kota paling toleran. Ketiga kritikan ini  yang seharusnya dijadikan motivasi untuk perbaikan membangun kota Depok sehingga partai pendukung Mohammad Idris, dapat menang kembali di kota tersebut.  Bukan malah sebaliknya, memberangus spanduk dan baliho partai lainnya sehingga terkesan mohon maaf "reaktif dan anti kritik".
Akar masalah yang tidak diselesaikan di kota Depok tetap saja menjadi bahan empuk kampanye bagi partai politik lain. Apalagi alat atau media kampanye di zaman canggih ini tidak hanya sekedar spanduk dan baliho saja. Jaringan medsos, silahturahmi door to door adalah contoh bentuk sosialisasi lainnya. Selamat berjuang !!!
Salam Demokrasi