Mohon tunggu...
Yansean Sianturi
Yansean Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - learn to share with others

be joyfull in hope

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyongsong Lembaga Setingkat Kementerian, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

17 Maret 2018   05:50 Diperbarui: 18 Maret 2018   13:46 1254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat ditandai dengan munculnya istilah "Generasi Milenial". Perkembangan sistem komunikasi dan informasi era milenial dapat dirasakan pada penemuan baru berbagai aplikasi internet serta media sosial, yang tentunya memberikan kemudahan bagi umat manusia. Dunia yang dahulu terasa begitu luas dan jauh karena dibatasi oleh wilayah yang namanya "Negara", sekarang telah terhubung menjadi suatu komunitas, biasa disebut sebagai warganet (Netizen). Situasi ini seakan-akan telah menghilangkan sekat antar Bangsa. Perubahan ini tentunya memberikan keuntungan dan patut disyukuri sebagai berkah pada abad ini, namun dibalik itu semua ada bahaya menanti yaitu dampak negatif. Bahaya masuknya ideologi (paham) asing, agresi negara lain, narkoba, pornografi, perdagangan manusia, terorisme, kejahatan perbankan dan lain-lainnya perlu diwaspadai.

Era pemerintahan Presiden Soeharto telah melihat dan mengantisipasi bahaya maupun ekses pengaruh dari luar dengan membentuk suatu Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang disingkat BP7. Namun, pemerintahan Pasca Reformasi, tahun 1998 telah menghapus BP7 termasuk pelaksanaan penataran P4 di berbagai lembaga, karena cara tersebut dianggap hanya sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan membungkam kebebasan, yang katanya melalui doktrin "asas tunggal Pancasila". Sebaliknya, keran kebebasan yang sekarang telah dibuka, justru melahirkan budaya masifnya berita Hoax dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum warga.

Isu SARA telah diproduksi sedemikian rupa bahkan mengintai perpecahan Bangsa Indonesia. Kebebasan yang didapat saat ini akhirnya melahirkan istilah "kebablasan", sehingga beberapa warga Indonesia kembali merindukan ketertiban dan ketentraman seperti pada masa orde baru. Sifat oknum masyarakat yang mau menang sendiri dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sering mewarnai pemberitaan media saat ini. Keadaan ini sering membuat kegelisahan antar warga yang satu dengan warga yang lain. Padahal, etika dan moral disertai kebebasan bertanggung jawab bisa melahirkan "keamanan" dan merupakan kunci serta modal bagi kesuksesan pembangunan yang selalu terpelihara pada zaman Soeharto. Apakah kita sebagai bangsa, rela jika mesti setback dan terpecah-pecah atau menjadi korban ditengah hiruk pikuknya arus modernisasi dan pembangunan? Tentunya kita ingin agar ditengah kemajuan ini, seluruh Rakyat Indonesia dapat turut serta dan menikmati hasil dari pembangunan. Istilah "manusia harus menjadi subyek dan bukan obyek pembangunan sering didengar saat dulu duduk di bangku sekolah", apakah sekarang masih diajarkan? Bagaimana dengan kurikulum pendidikan kewarganegaraan?

Negara dibentuk selain karena adanya unsur wilayah, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan negara lain, juga memerlukan unsur penduduk dalam hal ini, manusianya. Supaya negara tidak punah dan tetap kuat, maka unsur manusia memegang peranan penting terutama dalam menghadapi ancaman yang ada. Program pelatihan bela negara pernah dilakukan beberapa waktu lalu, untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, kedisiplinan, tanggung jawab dan kerjasama diantara anak bangsa. Melalui pendidikan semi militer diharapkan terjadi perubahan pola pikir dan mental seseorang. Melihat potensi gangguan yang setiap saat bisa terjadi, cara tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan rasa nasionalisme, tetapi sayangnya program tidak berlanjut karena terkendala masalah anggaran. Agar program serupa dapat hidup kembali tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk persetujuan anggaran dari wakil rakyat.

Perpres nomer 7 tahun 2018 telah diteken oleh Presiden Jokowi sehingga UKP PIP resmi berubah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan menjadi lembaga setingkat Kementerian.setkab Lahirnya Perpres diharapkan menjadi solusi atas kendala anggaran, kurangnya jumlah personil dan keterbatasan struktur organisasi. Gencarnya pengaruh budaya asing antara lain: materialisme dan hedonisme telah mengakibatkan mulai lunturnya budaya kekeluargaan dan gotong royong yang sebenarnya telah hidup dan menjadi jati diri serta berkembang di masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Eksistensi BPIP perlu dirasakan dan hadir hingga tingkat kelurahan atau pedesaan untuk menghidupkan kembali budaya luhur bangsa sehingga dapat menjadi urat nadi dan nafas hidup rakyat. Kiranya BPIP yang telah dibentuk, dapat belajar dari kesalahan masa Orde Baru yang menjadikan BP7 hanya sebagai alat doktrin kekuasaan, serta dapat juga menjawab kritik terhadap bablasnya kebebasan pada era Reformasi saat ini.

Tantangan badan ini adalah menjadikan ideologi Pancasila sebagai kepribadian dan identitas nasional serta karakter bangsa, agar tahan terhadap pengaruh negatif ideologi dan budaya luar serta rongrongan internal terhadap kelangsungan hidup NKRI. BPIP tidak dapat bekerja sendiri, tentunya memerlukan koordinasi dan dukungan dari lembaga lainnya, termasuk institusi TNI/Polri. Pendidikan dan pelatihan merupakan cara efektif agar dapat menunjang keberhasilan internalisasi ideologi Pancasila. Pola "bottom up" pembinaan ideologi Pancasila merupakan alternatif pilihan untuk menjawab kebutuhan era generasi milenial melalui komunitas-komunitas dan memanfaatkan kemajuan media sosial.

Dibalik itu semua, Pancasila sebagai pedoman kolektif Negara terutama dalam tertib hukum perlu dicontohkan melalui perilaku para elit yang taat akan peraturan dan budaya demokrasi itu sendiri. Membumikan Pancasila di Indonesia dapat dimulai dengan melaksanakan dan mengamalkan kelima silanya dalam kehidupan sehari-hari. Teladan perilaku para pemimpin, dimanapun berada yang kemudian ditiru oleh yang dipimpin merupakan proses internalisasi yang efektif sehingga dapat menjadi budaya dan karakter bangsa.

Seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan dan diajak secara bersama-sama untuk menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidupnya. Tantangan dan kesempatan BPIP adalah merubah perilaku keseharian atau mental bangsa, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi manusia berkualitas yang mampu bersaing dengan Bangsa lainnya.

selamat bekerja dan semoga berhasil

Salam Demokrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun