Mohon tunggu...
Noorharyani Noordin
Noorharyani Noordin Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

belajar bersosialisasi lewat dunia maya...semoga membawa manfaat bukan mudarat...suka memasak, membaca dan menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

ASI Eksklusif: Bukan Cuma Persoalan Wanita Karir Tapi Juga Persoalan Ibu yang Berada di Bawah Garis Kemiskinan

5 Agustus 2016   09:09 Diperbarui: 5 Agustus 2016   09:14 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap ibu memang seharusnyalah berkeinginan untuk memberikan ASI baik secara eksklusif ataupun selama mungkin sesuai dengan tuntunan agama Islam yang tertuang dalam QS Al-Baqarah, 2;233 yang artinya : "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan". Walaupun semua tergantung situasi dan kondisi si ibu itu sendiri.

Untuk para wanita karir, memang keterbatasan waktu cuti menghalangi proses untuk menyusui meski bisa disiasati dengan ketersediaan ASI yang sudah disiapkan sebelumnya dan bisa diberikan melalui botol dot. Tapi saya yakin, pemberian ASI secara langsung akan lebih besar nilai manfaatnya untuk kedekatan bayi dan ibunya.

Banyak tulisan yang membahas tentang wanita karir dan semua problem tentang masalah pemberian ASI secara eksklusif disertai pula dengan berbagai macam solusi kreatif lainnya. Bahkan tidak jarang juga ada wanita yang bersedia mengorbankan karirnya untuk bisa mendampingi tumbuh kembang si bayi apalagi bila mendapatkan buah hati tersebut melalui proses yang tidak mudah dan lama.

Tapi yang ingin saya tuliskan, bukan tentang wanita yang berkarir tapi tentang ribuan bahkan jutaan wanita lainnya diluar sana yang standar hidupnya jauh dari kata layak tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi untuk secara mudah memiliki keturunan.

Mereka...para wanita ini yang tingkat kesadarannya masih kurang untuk membatasi jumlah kelahiran, seringkali terpaksa harus menyusui dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Semestinya pada saat seorang ibu menyusui, pemenuhan akan makanan dan gizi menjadi perhatian. Sebagai seorang ibu yang juga pernah menyusui, saya paham bahwa kondisi perut dan perasaan haruslah dibuat nyaman sehingga pemberian ASI menjadi lancar dan menjadi saat yang menyenangkan antara ibu dan bayinya.

Bayangkan....ketika perut lapar, sementara si bayi waktunya harus disusui, pastilah air susu yang sebagus apapun menjadi agak terasa hambar karena ibunya sendiri kelaparan. Menyusui pada saat perut terasa kenyang saja akan cepat menjadi lapar dan terasa kosong kembali. 

Memang menyusui juga menjadi pilihan yang paling murah, praktis asalkan si ibu menyusui sehat. Mendengar dan menyaksikan ibu yang dengan keterbatasannya tetap menyusui bahkan dalam kondisi lapar, sangat terasa miris. Tidak banyak yang bisa saya lakukan selain menolong sebisanya dan sangat terbatas tentunya.

Mengganti ASI dengan susu formula bukan pilihan bagi ibu-ibu yang tidak akan mampu membelinya. Tumbuh dan kembang bayi tersebut tentu tidak seperti yang diharapkan. Padahal bayi-bayi itu adalah penerus generasi yang akan datang. 

Melihat raut wajah bayi yang kuyu dan layu...sungguh nurani seperti digugat. Bayi yang menangis keras dikolong jembatan itu belum tentu tangisan sewajarnya seorang bayi, karena sangat mungkin tangisannya adalah jeritan kelaparan mengharapkan air susu ibunya yang telah mengering karena ibunya pun merasakan lapar yang sama.

Saya berbuat semampunya dengan segala keterbatasan melihat kondisi seperti itu dan saya ingin mengajak supaya kita sedikit lebih peka dengan lingkungan dan memberikan perhatian yang tinggi kepada para ibu menyusui yang hidup dibawah garis kemiskinan yang mungkin saja mereka bagian dari sanak kerabat, tetangga atau siapapun yang ada disekitar kita.

Perjuangan para ibu ternyata belum selesai setelah proses melahirkan yang mempertaruhkan nyawa. Perjuangan bahkan dimulai saat awal kehamilan.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun