Takjil atau berbuka puasa terasa istimewa jika bisa menyantap makanan yang diidamkan seharian. Goyobod merupakan salah satu makanan untuk takjil yang hanya muncul pada saat bulan Ramadhan saja di Cianjur. Menyantap Goyobod perlu menunggu satu tahun. Makanan ini sebetulnya dibuat dengan cara yang sederhana.Â
Hunkwee dituangkan pada panci, kemudian masukkan santan. Kemudian direbus, diaduk-aduk sehingga menjadi adonan kental. Setelah itu simpan pada nampan, kemudian potong dadu. Goyobod yang sudah dipotong dadu dicampur dengan es, susu, sedikit air, alpukat, nutrijel atau agar-agar, dan serutan kelapa muda. Ibuku sangat piawai membuat Goyobod.Â
Goyobod, sederhana cara membuatnya namun tidak mudah untuk mendapatkannya di Cianjur. Saya berburu Goyobod dengan menelusuri Jalan Siliwangi yang mendadak menjadi tempat kuliner. Segala macam makanan di jual di sana. Tahun lalu, saya menemukan Goyobod dijual di depan SD Ibu Dewi.
Saya baru mengetahui jika pada sore hari Jalan Siliwangi begitu padat dan ramai oleh penjual makanan. Keadaan semakin ramai ketika pembeli menyerbu.
Sepanjang Jalan Siliwangi yang dipenuhi gerobak, berjejer segala macam makanan. Sebagian tidak saya kenal seperti Cilor. Begitu banyak perubahan jenis makanan yang dijual untuk bertakjil. Selain yang berjualan makanan untuk takjil, saya melihat pula beberapa penjual mainan Hotwheel. Yang menarik perhatian saya adalah toko yang menjual kembang api.Â
Saya sendiri tidak tertarik untuk membeli. Pikiran saya kembali pada buku digital yang dipinjam dari iPusnas yang ditulis oleh Samsoedi. Kisah pada buku tersebut berlatar belakang tahun 1909 dimana Bandung masih kampung. Anak-anak bersuka ria menyambut lebaran karena bisa bermain kembang api dan petasan.Â
Kebahagiaan anak-anak bermain kembang api dan petasan dideskripsikan begitu menarik oleh Samsoedi sehingga saya seolah merasa berada pada tahun sebelum Indonesia Merdeka. Buku itu berjudul Babalik Pikir atau sadar akan kesalahan.Â
Saya menonton keramaian kota kecil Cianjur yang hampir tidak pernah saya kunjungi pada saat sore hari. Â Diantara para penjual makanan, saya melihat penjual kembang api. Sepi. Â Tidak banyak pengunjung. Tidak seperti yang tertulis pada buku Samsoedi.Â
Goyobod saya cari karena makanan itu mengingatkan saya pada masa kecil dan almarhum ibu yang menyediakan Goyobod pada saat berbuka puasa. Sayang, di sepanjang jalan Siliwangi yang begitu hiruk pikuk, saya tidak menemukan Goyobod. Menghidupkan kenangan berbuka besama ibu untuk sore ini tidak terkabul. Tak satu penjualpun yang menawarkan Goyobod. Â