Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan

21 Maret 2019   16:59 Diperbarui: 21 Maret 2019   17:10 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesekali muncul keingintahuan seperti apa dirimu sekarang. Apakah kamu menjadi seorang pria yang disegani lengkap dengan dasi melingkari lehermu, memiliki ruang kantor di luar kubikel, memimpin rapat, mengatur banyak orang di bawah nada suara maumu.

Muncul pula keingintahuan seperti apa perempuan yang mendampingi hidupmu. Apakah dia perempuan tinggi semampai, bermata bulat berwarna hitam, menyiapkanmu makan pagi, mengantarmu dengan kecup yang dibumbui doa diantara gemerlap senyum pagi.
 
Keingintahuan lainnya seperti apa anak-anakmu. Apakah mereka makhluk lucu-lucu yang membuatmu selalu rindu pulang ke rumah, memaksamu bekerja tanpa lelah, sandaran yang mewujudkan impianmu, mengisi hari-harimu dengan pertanyaan-pertanyaan yang kamu sendiri tidak tahu jawabnya.  

Keingintahuan dalam untaian pertanyaan mendorong pemiliknya untuk mencari jawaban. Walaupun ada yang mengatakan bahwa tidak ada jawaban adalah jawaban. Keadaan ini tidak berlaku untuk keingintahuanku tentangmu, setelah berpuluh tahun tak sua. Setelah kamu meninggalkanku tanpa berselamat tinggal. Tanpa memberi tanda bahwa tali halus yang kamu ikatkan pada setiap nafasku telah kamu gunting.

Aku selalu menduga-duga, kamu malu jika berjalan di altar pernikahan sejajar denganku, katamu aku terlalu jangkung. Aku juga mengira-ngira, kamu enggan berbagi hari denganku, katamu aku terlalu senang di rumah. Aku membayangkan, kamu malas bertukar pendapat denganku, katamu aku terlalu menyederhanakan masalah, terlalu dilogiskan. Aku menyimpulkan tidak adanya surat yang biasa kuterima dari pos setiap hari Sabtu adalah kata putus tanpa perangko. Aku belajar bahwa untuk lepas dari pemenuhan mengasihi, cukup dengan tidak memberi kabar, tidak ada kontak, tidak ada kunjungan. Kata 'tidak' harus diakui kehebatanya. Dengan menggunakannya semua makna yang asalnya positif menjadi negatif. Kamu 'tidak' datang, maknanya telah negatif pandanganmu tentangku.

Dari tahun ke tahun aku bergumul dengan tanya tentangmu, mencari jawaban kenapa kamu pergi tanpa kulihat punggungmu meninggalkan ruang tamu yang biasa kamu sebut ruang bersejarah. Aku masih menyisakan sedikit tempat di rumah hatiku barangkali kamu pulang membawa impian yang kita berdua pernah rancang. Jendela hatiku masih terbuka untuk menerima hembusan kabar keberhasilanmu memetik hasil kuliah. Genting-genting hatiku masih melindungi sengatan tatap harap dari pria yang datang silih berganti. 


Kata orang, waktu akan menjawab semua pertanyaan. Aku terkecoh. Aku menunggu dari waktu ke waktu. Tak satu huruf pun yang diberikanmu lewat bergantinya waktu untuk memberitahu alasan kenapa kamu pergi. Bagiku, waktu tidak selamanya pintar dan bisa memberikan jawaban. Aku khawatir, waktu malah akan menipuku. aku tidak mau kalah oleh waktu yang terus mengubah elastisitas kulitku. Telah kulakukan hal yang sangat kamu larang, aku membuat jawaban tanpa ada izin darimu. Kuberkata ya pada pria non pribumi yang katamu sangat tidak bijak jika menikah beda suku, bibit perbedaan akan mengantarkan pada habisnya kesabaran memegang surat nikah.

Kamu, dalam waktu yang tak bisa kujelaskan, kadang mengusik rumah jiwaku.
 
"Apakah Ibu kenal saya? Dulu saya pernah bertemu Ibu. Dulu dari yang sangat dulu. Saat saya masih SD. Ibu datang pada hari Minggu ke rumah kakek, lbu datang naik Vespa dibonceng Om D."

Percakapan yang terjadi di luar kedinasan yang sedang kutanggung. Mulutku terasa kering. Pertanyaanya mengantarkanku pada jam dimana aku menjadi tamu ketika aku ke rumahmu dan ponakanmu ada di sana. Aku tidak menyangka, keponakanmu memiliki ingatan yang tajam sehingga membuka kisah yang bertahun aku simpan dan tidak pernah kubagi. Keponakanmu mengingatkanku pada anggapan bahwa kamu manusia teregois yang meninggalkan satu hati tanpa diberi jaminan.

"Ibu, Om D sering menanyakan apakah saya pernah bertemu Ibu karena kita berada pada satu kota yang sama. Hutang janji saya pada Om D akan terbayar. Mungkin Om D akan loncat kegirangan mendengar kabar pertemuan kita ini." 


Ponakanmu mengambil keputusan sendiri untuk mengabarimu tentang keberadaanku. Kamu akan tahu bahwa aku, juga ponakanmu menjadi orang-orang yang tidak seperti yang kamu inginkan: tidak melakukan apapun tanpa sepengetahuan dan izinku.

Aku tidak menginginkan apapun darimu. Ragaku telah aman dibalut status. Rumahku telah penuh dengan suka duka berbagi hari dengan pria yang kamu pandang membawa kericuhan akibat bahasa, suku, dan agama keluarganya berbeda. Hari Mingguku selalu habis diinvestasikan pada obrolan ibu anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun