Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendikbud Tidak Perlu Minta Maaf

15 April 2018   09:38 Diperbarui: 15 April 2018   20:11 2583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jagat pendidikan berguncang karena memblukdaknya komentar miring dari para siswa peserta UNBK terhadap konten soal ujian  yang baru saja mereka lalui.

Menindaklanjuti ramainya lalu lintas komentar, Mendikbud cepat menanggapi dengan permintaan maaf seperti yang dimuat pada Kompas, 13 April 2018.

Fenomena ini tentu menarik untuk dikaji, terutama menyoal  permintaan maaf untuk ujian yang kadar kesulitannya dianggap tidak dapat ditolelir.  

Kurikulum yang digunakan di Indonesia saat ini mengadopsi pembelajaran abad 21 dimana keterampilan berpikir kritis menjadi salah satu elemen  yang harus dikuasi siswa.

Mengacu pada cara pengembangan tata nilai pembelajaran abad 21 yang mendorong para siswa untuk kreatif dan kritis, pemberian soal ujian yang memacu pesertanya untuk menunjukkan kepiawaian berpikir kritis merupakan cara pengujian yang tepat. 

Pengujian yang mendewasakan cara berpikir sekaligus cara menggunakan pengetahuan dan keterampilan, bagi sebagian siswa, bisa saja dipandang pengujian tersebut melebihi kemampuan atau dengan bahasa nyeleneh anak-anak disebut "yang dipelajari dengan yang diujikan tidak sama, soalnya mirip SBM." 

Jika kita melihat ocehan para siswa, secara tidak langsung tersirat bahwa mereka "mengenali" soal. Penggunaan kalimat "yang dipelajari dan diuji tidak sama" memberitahukan kita bahwa para siswa berharap agar soal latihan yang digunakan di dalam kelas selama pembelajaran, digunakan pula pada ujian, dengan kata lain menggunakan soal yang sama, dengan kadar kesulitan soal yang sama, bahkan kalau mungkin dengan bunyi soal yang sama.

Ketika soal berbeda sedikit dan kadar kesulitan soal dinaikkan, dengan serta merta para siswa menyebutnya "soal SBM." Hal ini pun menyiratkan bahwa para siswa terbiasa dengan soal latihan yang kemungkinan (dibantu) dimudahkan agar secara jumlah, materi ajar yang diperoleh para siswa bertambah pada setiap pertemuan. 

Para siswa yang mampu memahami, mampu menerapkan, mampu menganalisis, dan mampu mengevaluasi materi ajar, diasumsikan mampu  pula menyelesaikan soal yang menuntutnya untuk melakukan analisis dan evaluasi dalam penyelesaian soal.

Sebagai contoh, seorang anak yang mampu  membaca dalam bahasa Indonesia dengan huruf Latin, ketika diberikan teks apapun selama itu dalam bahasa Indonesia, dia akan tetap bisa membacanya.

Masalahnya apakah dia paham isi bacaan atau tidak, itu urusan keterampilan membaca. Keluhan sulitnya soal, jangan-jangan menggambarkan bahwa para siswa hanya mampu membaca soal (melihat rangkaian huruf), tetapi tidak terampil membaca soal (memahami apa yang sedang dibaca).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun