Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Menakutkan Ketika Siswa Enggan Masuk Sekolah

14 April 2018   10:35 Diperbarui: 14 April 2018   10:49 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panah yang menggambarkan seolah pada hari Jum'at libur

Minggu lalu para siswa kelas 9 SMP dan kelas 12 SMA mengikuti UNBK. Selama UNBK berlangsung adik-adik kelasnya belajar dirumah. Belajar di rumah, bagi sebagian besar siswa juga orangtua,  dibaca dan diartikan libur. Libur dalam arti tidak masuk ke kelas, dan libur dalam arti (diam-diam) tidak belajar. 

Pelaksanaan UNBK berlangsung empat hari, mulai Senin, 9 April sampai dengan Kamis, 12 April 2018. Sedangkan Sabtu, 14 April 2018 adalah hari libur nasional Isra Mi'raj. Hari Jum'at menjadi satu-satunya hari dimana para siswa harus sekolah. Hari Jum'at yang posisinya seperti ini disebut Harpitnas atau  hari kejepit nasional. Pengunaan kata nasional untuk merujuk bahwa secara nasional memandang bahwa hari tersebut nanggung untuk dijadikan hari kerja, maka dengan sendirinya warna merah pada tanggalan menjadi berurutan mulai tanggal 8 -15 April 2018.

Libur kapanpun waktunya, selalu ditunggu, tidak saja oleh siswa, tapi juga oleh semua orang. Pegawai kantoran yang suntuk dengan keruwetan urusan kantor, sangat menyehatkan jika ada rehat sehari. Para guru, yang setiap hari memikirkan nasib generasi muda, tentu bahagia jika diberi waktu 24 jam untuk istirahat. Bagi para siswa, yang setiap hari berjuang memahamkan dirinya terhadap segala ilmu, pasti bersyukur sekali jika diberi waktu untuk bernafas dan menjauh sesaat dari tumpukan tugas.

Keberadaan libur yang diharapkan semua orang, bisa menjadi masalah  jika libur tersebut kelak memunculkan hal-hal yang tidak diharapkan. Sebagai contoh kecil, di lingkungan siswa dan persekolahan, hari Jumat, 12 April 2018, digelari Harpitnas, dan selanjutnya ditetapkan bahwa pada hari itu tidak berangkat sekolah, alias libur karena tanggung. 

Siswa yang tidak berangkat sekolah mengajukan pembelaan bahwa tidak sekolah satu hari, tidak apa-apa, mereka yang tidak sekolah berhari-hari  saja, bisa lulus, kenapa mempersoalkan tidak sekolah satu hari. 

dokpri
dokpri
Pernyataan spontan di atas terdengar wajar. Namun jika kita kaji secara cermat, pernyataan tersebut menghadirkan ketakutan tak terperi. Alasan pertama,  bagi seorang terdidik, waktu adalah komoditi yang mahal. Dalam satu hari, seorang siswa menggunakan waktu dengan hitungan menit. Setiap menit yang dilaluinya, semuanya diisi dengan pengetahuan dan keterampilan baru. 

Waktu 15 menit milik seorang siswa, bisa saja mengubah dirinya juga lingkungannya. Misalnya dalam 15 menit dibelajarkan bagaimana mencongak sehingga dia bisa menghitung luas tanah dan memprediksi untung rugi usaha yang tidak semua orang bisa melakukannya. Siswa yang pandai mencongak dicari banyak orang untuk membantunya menyelesaikan masalah-masalah hitungan praktis yang dipakai di masyarakat seperti menaksir kebutuhan kayu, genteng,  batako pada saat membuat rumah.  Bisa pula, siswa tersebut ditunggu sumbangan pikirannya pada saat ada masyarakat yang hendak menghitung luas tanah yang batas-batasnya tidak lurus. 

Peristiwa siswa mangkir satu hari sekolah, atau setara dengan  480 menit, bisa dibayangkan betapa banyak komoditi berupa pengetahuan dan keterampilan yang luput. Pantas Suzzane Chasin, seorang penulis cerita pendek  mengatakan bahwa untuk menguasai dunia dan seisinya, dan untuk menjadi manusia utama, penguasa, syaratnya mampu  menguasai satu menit atau 60 detik. 

Alasan kedua, bagi pembelajar tidak ada hari libur. Para siswa dibimbing dan dilatih untuk menjadi pembelajar sejati. Untuk siswa, agar belajar menjadi terarah, efektif, efisien, dan berdayaguna, maka sekolah membantu dengan menyediakan jadwal dan guru pendamping agar memperoleh pengalaman belajar. Belajar di kelas merupakan bibit utama dimana strategi inti belajar diperoleh.  Belajar yang sesungguhnya adalah di luar kelas, tanpa pendampingan guru. 

Sebagai contoh, di kelas, para siswa dibantu oleh guru agar bisa mengenal huruf dan bisa membaca. Pada saat pelajaran membaca selesai,  bukan berarti kegiatan membaca juga selesai. Sebaliknya, bagi seorang pembelajar sejati,  waktu yang ada di luar jam pelajaran adalah waktu bagi dirinya untuk melanjutkan belajar. Membaca yang dilakukan atas kebutuhan, itulah membaca yang sesungguhnya. Membaca seperti ini tidak mengenal jadwal. Dengan kata lain, bagi pembelajar sejati, tidak ada masa rehat bagi dirinya untuk belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun