Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arisan Nasib Nan Melukai Karir

24 Februari 2018   07:41 Diperbarui: 24 Februari 2018   07:44 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar olah pribadi

Puluhan kilometer ia lalui untuk bertemu saudaranya. Saudara yang terlahir dari darah profesi dengan hirarki garis keturunan senasib seperjuangan, sama-sama memiliki niat memajukan anak bangsa. Ikatan persaudaraan yang terdengar ringkih, rapuh. Serapuh matanya yang bisa saja lepas atau jatuh karena kelopaknya sudah kendur kehilangan kemampuan otot regang elastis penyangga bola matanya.

Persaudaraan nan ringkih tidak berarti rentan, sebaliknya dia kuat sekali. Kesadaran akan keringkihannya membuat kedua saudara baru ini saling menjaga komunkasi, menjaga siapa diri mereka masing-masing, menjaga keharmonisan keluarga masing-masing, menjaga rahasia masing-masing, dan menjaga mimpi-mimpi mereka masing-masing. 

Kualitas ringkih membuat mereka tetap saling membantu untuk memahami dunia kerjanya yang saling berhubungan tapi tidak sejenjang, tidak sejajar, tidak selevel. Hubungan yang aneh, rapuh, ringkih, namun tetap benang-benangnya merentang dari sebuah kota ke sebuah kampung nan jauh dipinggir laut dimana jarak menjadi menyiksa keduanya. Jarak tempuh yang tidak sematematis hitungan di atas kertas. 

Enampuluh kilometer harus ditebus perjalanan delapan jam dilengkapi dengan mual, pusing, dan kengerian tiba-tiba tertimbun longsor atau tiba-tiba jalan amblas. Pemerintah sudha lama tidak ada di jalan-jalan yang meliuk-mengular menuju saudaranya. Bekas aspal telah terlalu lama hilang berubah pulas semen yang kini retak. Retakannya sampai ke ulu hati setiap kali hujan turun. Jalan semen melangit, tinggi menyombongkan kakunya dari halaman rumah di bawahnya yang tidak bisa beringsut dari pinggir jalan.

Ketika hujan menyambangi jalan-jalan cor ini, hujan bukan  lagi rakhmat, bukan lagi hadiah dari langit yang ditunggu-tunggu apalagi diminta dengan khidmat lewat shalat Istisqo, yang melengkingkan doa dengan lirih memintanya turun, dari tengah lapangan yang tandus. Hujan, adalah kesalahan. Seperti longsor yang menimbun empat orang pedagang di Puncak, minggu kemarin ini, salah hujan. 

Bukan kesalahan manusia yang memasang warung-warung kumuh pinggir jalan hasil membabat semua pohon berakar di sisi-atas-kiri-kanannya. Juga,pergerakan tanah yang mengubur hidup-hidup empat belas orang petani, itu juga salah hujan. Hujan tanpa diminta turun selama tiga hari seolah tiada henti, mengakibatkan sulur-sulur airnya membelah bukit dan mendorongnya ke lembah dimana petani sedang asyik menanam padi untuk menyambung hidup. 

Bukan salah petani yang dipaksa oknum jagawana agar memanen seluruh pohon yang tumbuh di atas bukit tanpa pilih tebang. Semua salah hujan. 

Perjalanan menuju saudaranya menyesakkan hati dan memerihkan matanya. Hujan yang mengguyur sejak dia berangkat dari rumahnya seolah tidak meminta izin dari siapapun untuk menunjukkan kuasanya. Kuasa meluruhkan niat siapapun yang hendak berbuat baik untuk negeri ini. Dalam derai-derai hujan ia melihat barisan-barisan air miring tertiup angin seperti nasib saudaranya. Saudaranya adalah satu butir air hujan diantara jutaan butir hujan lainnya. Dia tidak punya kuasa menentukan dimana dirinya jatuh dan tidak punya kemampuan mengatur kapan harus jatuh. Lebih menyedihkan lagi, dia tidak dapat meluruskan dirinya saat tertiup angin. Dia harus pasrah begitu saja pada angin. 

'Kami, jelmaan yang mewujud rupa dari gulungan kertas yang didalamnya memuat tulisan nama tempat kerja,' begitu saudaranya memulai derai butir nasib dirinya yang kini mengambang terbawa miring angin dalam derai hujan. Tidak berdaya sama sekali.

'Saat itu,' dia melanjutkan, 'semua pegawai yang telah lelah dengan permainan angka penentu kursi dan tahapan-tahapan pemerasan emosi, tetiba harus menghadap seorang sepuh. Sepuh dari pemegang nasib kami semua. Sepuh itu bayangan penguasa yang kini tegak berdiri. Sunnguh aneh, dalam satu kabupaten ada dua Bupati: Bupati Sepuh adalah mantan bupati sebelumnya, dan Bupati Anom adalah bupati yang menjabat sekarana yang nota bene anak Bupati Sepuh.

Sepuh itu menguji kami, ujiannya tidak terkait profesi, tapi kami diminta membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ujiannya itu saja. Kami didesak menunjukkan fasih dan kental mengucapkan kalimat-kalimat berbahasa Arab.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun