Hingga pagi, Alif menghabiskan sisa malam dengan duduk bersila menstabilkan tenaga dalamnya yang terkuras saat pertempuran kemarin. Ketika dia bangun, cahaya matahari sudah memasuki gua. Suara kicau aneka burung menghidupkan suasana pagi. Untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun, Alif merasa betapa pagi itu begitu indah.
Sepasang tupai saling berlarian dari dahan ke dahan, suaranya yang heboh dan kemesraan keduanya membuat Alif tersenyum menatap makhluk Tuhan itu. Seekor burung warna hijau besar hinggap didahan yang sama dengan kedua sejoli itu. Burung itu tidak terganggu dengan kehadiran dua makhluk lucu itu. Dia sibuk memilih buah masak kemerahan sebesar manik-manik.
Alif tersenyum licik. Tangannya menjumput sebuah batu dari pecahan batu karang sebesar jari kelingking. Dengan satu gerakan, batu itu terbang laksana peluru, tepat menghancurkan kepala burung malang itu. Tubuhnya langsung jatuh, Alif dengan cepat menyambarnya.
Sambil tertawa kecil, bulu burung itu dicabut semua, dan dibersihkan. Dengan cepat Alif menyalakan api, burung itu segera di panggang.
"Sudah lama sekali tidak memakan apik buruang. Ayah, aku juga merindukanmu!" Gumam Alif.
Dulu, bersama ayahnya dia sering diajak berburu burung. Ayahnya akan membawa sebuah Sumpik, bambu sepanjang dua meter dengan ukuran sebesar jari jempol. Di tas bigaunya, ada segenggam panah kecil, yang pangkalnya diberi gabus dari tibarau, sejenis tebu tawar yang biasanya hidup di rawa.
Cara kerjanya sederhana. Pangkal sumpit itu dimasukkan panah kecil, kemudian Sumpik diarahkan ke sasaran. Dengan satu hembusan kuat, di pangkal Sumpik, anak panah itu akan melesat menuju target. Semua orang bisa memainkannya,tapi tak semua orang bisa membidik dengan tepat menggunakan Sumpik tersebut.
Burung yang terkena panah pertama kali, selalu di apik, yaitu di panggang dengan cara dan metode khusus. Sehingga menghasilkan daging burung panggang dengan cita rasa tinggi. Alif selalu merasa itu adalah makanan ter enak selama hidupnya.
Setengah jam kemudian, burung itu selesai dimasak. Dengan berdendang kecil, sebentar saja, burung itu hanya tersisa tulang belulangnya saja. Alif menjilat ujung jarinya, merasakan kenikmatan terakhir dari mahakarya nya pagi ini.
Tubuhnya terasa jauh lebih kuat. Delapan puluh persen kekuatan tubuhnya sudah pulih, hanya saja luka tembak dan tusukanasih belum kering. Bagaimanapun itu adalah luka tbak dan pisau beracun. Tetapi hal itu tak terlalu mengganggu gerakannya.
Dengan perlahan, dia menuruni lembah sambil mengulurkan beberapa jenis tanaman obat berupa jamur, daun-daun dan beberapa kulit kayu dengan getah bening. Satu jam berikutnya di menemukan sebuah sungai berair jernih dengan ikan-ikan nya yang besar besar dan jinak.
Tiba-tiba perutnya kembali merasa lapar. Dia memotong sebatang bambu seukuran jempol kaki dewasa, meruncing ujungnya dan dibelah menjadi empat bagian sepanjang lebih kurang lima puluh centimeter. Kemudian dimasukkan kayu penyangga, sehingga ujung bambu itu berubah menjadi empat senjata tajam.
Bersambung....