Sabtu kemarin sekolah anak-anak kami ikut karnaval budaya yang diadakan pemerintah kecamatan. Hadir sebagai tamu rutin (Pj) bupati Magelang dan jajaran pemerintahannya.
Namun, ada pemandangan drastis yang bikin miris. SD Negeri tempat anak perempuan kami sekolah mampu menghadirkan mobil maskot bertema Garuda. Mobil sound system untuk mengiringi selusin penari Topeng Ireng juga indah berhias pemandangan dan simbol IKN. Pun para siswa anggota drumband piawai memainkan alat musik sambil berbaris sejauh 2 km.
Hal kontras terjadi di SMP Negeri tempat anak laki-laki kami sekolah. Mereka cuma mampu membawa kurang dari dua lusin siswanya tanpa mobil maskot apalagi penari dan drumband. Mereka cuma berdefile dengan membawa spanduk dan satu arakan.
Kenapa yang SD justru bisa menampilkan yang lebih spektakuler dari yang SMP? Padahal SD dan SMP tempat anak-anak kami belajar ini sama-sama terkenal puluhan tahun sebagai sekolah negeri unggulan yang mencetak siswa berprestasi. Jawabannya? Duit.
Pihak SD mengeluarkan Rp2jt dari dana BOS, sisanya Rp12jt dari iuran paguyuban 8 kelas yang mengikuti karnaval budaya. Sementara itu karena SMP tidak boleh minta sumbangan sama sekali dari orang tua dan paguyuban, maka peserta karnaval budaya yang mereka ikuti juga ala kadarnya, yang penting berpartisipasi.
Soal tidak boleh memungut sumbangan ini sebabnya adanya jargon sekolah gratis yang digaungkan pada 2008 dan efektif pada 2013 sejak diberlakukannya UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
Kurva Biaya dan Prestasi
Kalau kita perhatikan sekarang ini, sekolah yang berani memasang spanduk "Sekolah Gratis" saat PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) hanyalah sekolah negeri yang tidak punya ekstrakurikuler selain Pramuka, tidak pernah mengikuti lomba, dan tidak pernah ikut kegiatan non akademik macam karnaval budaya.
Itu karena sekolah yang tidak punya beragam ekstrakurikuler tidak perlu membayar honor pelatih dan menyediakan fasilitas penunjangnya. Ekstrakurikuler Pramuka dan PMR (Palang Merah Remaja), misalnya, masih bisa dibiayai dari dana BOS. Sekolah seperti itu juga tidak perlu keluar uang untuk biaya transportasi dan konsumsi saat mengirim siswanya bertanding di berbagai lomba. Pun tidak perlu keluar uang untuk memodali karnaval budaya.
Peserta didik di sekolah itu pun harus puas hanya dengan aktivitas sekolah-pulang-sekolah-pulang setiap harinya. Kalau ingin mengembangkan minat dan bakat dibidang lain, mereka harus mengikutinya secara mandiri di tempat lain.
Berdasarkan data dari bos.kemdikbud.go.id dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan untuk SD Rp900.000 per anak per tahun. Jenjang SMP menerima Rp1.100.000 per anak per tahun. BOS lebih besar diberikan untuk sekolah yang berada di daerah 3T (terpencil, terluar, tertinggal).