Warga tidak mau ganti Ketua RT karena sudah nyaman dengan Pak RT yang lama.Â
Ketua RT yang paling cepat minta bantuan ke kelurahan saat ada warganya yang kebanjiran. Maklum, RT kami dekat dengan sungai Krukut di Kecamatan Mampang Prapatan, Jaksel, yang sampai saya pindah dari sana tahun 2008 sering dapat banjir kiriman dari Bogor.
Ketua RT juga tidak pernah minta uang lelah tiap mengurus perpanjangan KTP warganya. Warga berduit bisa memberinya ratusan ribu. Warga yang bokek tidak usah bayar, malahan Pak RT sering nombok membayari iuran sampah warganya yang berkantong cekak.
Plus tidak pernah ada copet dan tukang palak di pasar karena Pak RT yang berbadan tinggi besar dan berkumis tebal, punya kerjaan juga sebagai pengawas pasar.
Beliaulah Ketua RT paling berpengaruh dalam hidup saya, Pak Adityawarman. Orang Jawa kelahiran Jakarta yang beristrikan orang Betawi.
Zaman dulu, di perkampungan yang masih banyak ditinggali orang Betawi, jarang ada ketua RT dijabat oleh non-Betawi, walaupun orang itu sudah lahir, besar, dan mungkin bakal mati juga di Jakarta.Â
Banyak tokoh Betawi di Jaksel menyebut mereka yang bukan bersuku Betawi sebagai "pendatang".
Untuk mengatasi kendala sebagai "pendatang", walaupun saya (pun ibu saya) lahir di Jakarta, Pak RT membantu saya melakukan pendekatan ke tokoh-tokoh masyarakat dan para ketua RT-RW setempat.
Waktu itu saya dipilih secara aklamasi jadi ketua karang taruna, menggantikan ketua sebelumnya yang mundur.
Pak RT juga yang mendampingi jika saya ada keperluan dengan Pak Lurah dan Pak Camat untuk urusan kepemudaan.
Beliau sudah akrab dengan para staf di kelurahan dan kecamatan. Walau lurah dan camatnya ganti-ganti, Pak RT tidak kesulitan beradaptasi karena para staf itu yang malahan mengenalkan beliau ke lurah dan camat yang baru.
