Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Disorientasi Ekonomi di Balik K-Pop, Dalgona, dan Rice Bowl bersama Orang Sekampung

15 Januari 2021   17:49 Diperbarui: 16 Januari 2021   14:10 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidangan rice bowl (Shutterstock.com)

Selain pembeli cilik yang menanyakan poster bintang K-Pop, ada juga beberapa pembeli remaja yang menanyakan apa saya menjual Korean Cream Cheese Bread dan Korean Garlic Bread. 

Haa?! Mana mungkin warung kecil begini jual makanan ke-Korea-korea-an seperti itu.

Bisa saja, sih, saya jual makanan begituan, tapi kalau yang beli hanya 4-5 orang nanti balik modalnya bagaimana. Orang jualan kan pasti cari untung.

Hal yang paling menarik perhatian saya adalah, orang-orang di sini kerap mengirit uang untuk belanja harian di tukang sayur. Sampai-sampai tahu, tempe, dan sayuran yang harganya sudah murah sering mereka tawar sampai miring semiring-miringnya. 

Pun demikian untuk jajanan penjual keliling seperti cilok, es dungdung, dan bakso sering mereka tawar sampai "jongkok", tetapi untuk jajanan bermerek, kekinian dan kebarat-baratan (atau ke-Korea-korea-an) mereka mau saja keluar duit melebihi belanja harian di penjual sayur keliling.

Hal serupa juga terjadi di toko sebelah. Di toko milik tetangga dusun saya, roti yang paling laris justru roti keluaran Sari Roti, terutama roti sobek seharga Rp 15.500 bukan roti kampung rumahan seharga Rp 1000-Rp2000. 

Sales yang menitipkan Sari Roti di warung tersebut malahan tidak percaya kalau roti dagangannya laris manis, dipikirnya Sari Roti mahal untuk ukuran orang kampung. 

Si pemilik toko sering minta tambah jumlah roti dari si sales, tetapi tidak dipenuhi karena sales-nya tidak juga mau percaya Sari Rotinya laku keras.

Fenomena di atas mungkin termasuk disorientasi ekonomi, saya katakan. Ekonomi keluarga terabaikan demi memenuhi tren yang datang dari media sosial. 

Bagaimana tidak terabaikan kalau belanja untuk makan sekeluarga ditawar serendah-rendahnya, tapi untuk jajan (yang hanya bisa dimakan satu orang) mereka rela keluar uang lebih mahal.

Di Instagram banyak sekali makanan-makanan yang diviralkan oleh para influencer yang asalnya dari drama Korea atau rumah makan dan tenama yang mereka endorse.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun