Karena alasan saya pinjam KUR untuk memperluas usaha, maka pada waktu saya mengajukannya, Febri memfoto warung sembako dan alat tulis kantor (ATK) yang telah saya miliki.
Lalu sama seperti Febri, auditor perempuan tadi juga minta diizinkan mengambil foto warung yang telah saya perluas menjadi warung makan dan minuman. Dia juga minta diperlihatkan motor yang BPKB-nya jadi jaminan.
Untung suami sedang tidak memakai satu dari motor tersebut untuk ke sawah. Dia sedang menanam empat pohon kelapa genjah di kebun dekat rumah, hibah dari dinas pertanian Kabupaten Magelang.
Setelah puas foto sana foto sini dengan kamera ponselnya (termasuk menu makanan yang tertempel di dinding), auditor perempuan bertanya, "Kenapa ambil KUR tidak pakai nama suaminya saja, Bu?"
Saya jawab yang mengelola usaha, kan, saya, jadi pakai nama saya, dong. Nanti kalau pembayarannya macet tinggal minta sama suami. Waduh!
Tetapi, pinjam uangnya di Muntilan yang ada di Magelang, kok auditornya dari BRI Yogya?
Karena unit tempat saya meminjam masih satu kanwil dengan BRI Yogya. Auditornya bilang selama ini banyak "permainan" dan kecurangan yang dilakukan baik oleh marketing maupun nasabah.
Marketing suka minta fee dari nasabah dan memanipulasi data. Nasabah peminjam KUR juga banyak yang berbohong.Â
Bilangnya pinjam uang untuk keperluan sawah dan sertifikat sawahnya jadi jaminan. Tapi ketika di audit sawahnya ternyata punya orang lain, duit KUR dipakai untuk keperluan lain.
Ada juga yang pinjam untuk beternak ayam tapi ternyata tidak ada ayam sama sekali. Kandangnya saja tidak ada.
Maka itulah peminjam KUR harus diaudit tanpa pemberitahuan sebelumnya. Auditornya juga harus dari kanwil.
Kenapa, kok, berani meminjam dari bank di saat negara sedang resesi, ekonomi lesu, dan pandemi belum berlalu?