Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Mubazir Kuota Belajar dari Pemerintah?

30 September 2020   15:33 Diperbarui: 2 Oktober 2020   04:42 2375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi belajar online. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Hasil survei KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang dirilis pada 22 September 2020 menyebut bahwa berdasarkan survei yang mereka lakukan sejak April 2020, guru dan siswa lebih memerlukan kuota umum atau kuota utama daripada kuota belajar.

Sebagai informasi, subsidi kuota yang diberikan pemerintah untuk siswa PAUD sebesar 20GB, SD-SMA 35GB, dosen dan mahasiwa 50GB, dan guru 42GB. 

Dari besaran kuota itu, 5GB merupakan kuota umum, sisanya adalah kuota belajar yang khusus untuk mengakses aplikasi dan situs yang ditetapkan pemerintah untuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Hanya saja, tidak banyak guru dan siswa yang menggunakan aplikasi khusus belajar. Pelanggan aplikasi ruangguru, zenius, quipper, dan lainnya biasanya sudah berlangganan internet di rumahnya sehingga tidak menggunakan kuota di ponsel.

Banyak dari aplikasi belajar itu juga berbayar, alias kalau ingin menonton video pembelajarannya kita harus membayar langganannya dahulu. Hanya orang tua dan siswa yang punya pola pikir khusus yang akan membayar biaya langganan dari aplikasi, sisanya pasti memilih belajar gratis dari YouTube.

Selain itu para guru memberikan materi pembelajaran dari video yang mereka kirim lewat WhatsApp. Selain dari WhatsApp mereka juga memberikan tautan YouTube untuk mempelajari materi tertentu. Mau tidak mau kuota belajar jadi jarang dipakai. Bukan jarang lagi tapi utuh alias tidak pernah dipakai.

Gambar: yanahaudy0
Gambar: yanahaudy0

Seharusnya, seperti yang tertulis pada kuota-belajar.kemdikbud.go.id, WhatsApp dan Zoom termasuk dalam aplikasi yang menggunakan kuota belajar, nyatanya yang terpakai adalah kuota umum.

Pun demikian dengan situs-situs yang mestinya diakses memakai kuota belajar seperti buku.kemdikbud.go.id, rumahbelajar.id, dan setara.kemdikbud.go.id tapi yang terpotong adalah kuota utama.

Sementara itu, mengenai tidak bisanya YouTube diputar menggunakan kuota belajar, Kepala Pusat Data dan Informasi Kemendikbud Muhammad Hasan Chabibie mengatakan bahwa di YouTube lebih banyak unsur hiburannya daripada belajar.

Ya, tidak keliru yang dikatakan Pak Hasan, bisa jadi belajarnya hanya setengah jam, nonton videonya bisa dua jam.

Tapi apa yang diminta KPAI dan FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) juga tidak keliru. 

Mereka meminta pemerintah memperbanyak kuota utama dan mengurangi kuota belajar karena setiap hari siswa menggunakan mesin pencari untuk melihat praktik bidang keahliannya (SMK). Beberapa sekolah juga membangun e-learning yang terintegrasi dengan YouTube.

Untuk hal tersebut Pak Hasan menjawab kalau kuota utama ditambah nanti siswa bakal tidak belajar dan malah main game online, TikTok, atau nonton drama Korea. Betul! Logis sekali, Pak!

Tapi sebenarnya mayoritas siswa SD-SMA memang tidak belajar. Mereka hanya belajar kalau ada PR dan diberi tugas oleh guru. Selepas tugas itu selesai, maka selesai pula belajarnya. Disuruh nonton Ruangguru atau Quipper lagi sudah pasti tidak mau, mending nonton YouTube.

Ditambah lagi sebagian besar siswa (juga orang tuanya) sudah dalam puncak kebosanan berada lama di rumah. Jadi apapun bentuk yang membuat mereka tambah bosan (termasuk belajar) tentu tidak akan mereka lakukan. 

Minimnya minat belajar ini memang memprihatinkan, tapi itulah faktanya. Bagaimana kita mau menolak fakta yang ada di depan mata?

Di daerah-daerah yang bersinyal lemah, subsidi kuota ini juga sepertinya mubazir. Mereka lebih butuh (mungkin) subsidi listrik, subsidi transportasi untuk guru, atau insentif untuk radio dan televisi lokal yang menyiarkan PJJ. Untuk apa kuota besar kalau sinyalnya tak ada?

Mungkin, andai, bilamana kuota utama ditambah dengan memperkecil kuota belajar hal yang didapat bisa jadi tidak melulu negatif. 

Siswa sekolah menengah mungkin saja jadi lebih kreatif karena mereka leluasa mencari tutorial untuk memperdalam hobi atau ikut forum-forum diskusi di internet yang berhubungan dengan minatnya.

Orang tua siswa TK dan SD mungkin juga bisa nebeng kuota utama itu untuk berjualan online sehingga bisa menghemat tidak perlu beli kuota lagi.

Para ibu yang suka drama Korea juga bisa nebeng download serial kesukaannya sehingga tidak gampang uring-uringan pada suami. Hemm~.

Meski demikian kita patut menghargai subsidi kuota yang diberikan pemerintah. Cukup atau tidak itu tergantung kita mengaturnya. Anggap saja kuota itu sebagai rejeki sehingga kita tidak mudah mengeluh dan menyalahkan siapa-siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun