Ajak dia nonton bersama video Ferdian Paleka yang berisi prank sampah. Jelaskan bahwa membuat konten prank seperti itu adalah perbuatan tercela karena merugikan orang dan berakibat masuk penjara.
Contoh lain yang bisa kita berikan adalah saat Ria Ricis membuat video di komplek perumahannya saat sedang PSBB dan menganggu orang-orang yang ada di perumahan tersebut karena bising. Sejatinya, YouTuber, apalagi yang sudah terkenal, tidak berlaku seperti itu dan tetap harus menghormati orang lain.
Andai anak bercita-cita jadi influencer dan buzzer pun mungkin saja di era digital ini. Tapi beri pemahaman secara berkesinambungan kepada si anak bahwa menjadi influencer tidak harus dimulai dengan sensasi (berfoto vulgar, berbohong, bergaya hidup glamor, mencari pacar settingan, dsb, dll). Dan jadi buzzer pun tidak harus dengan menjelekkan pihak lain yang berseberangan dengan kepentingannya.
Dengan demikian jika kelak anak berhasil meriah cita-citanya, akan seimbang antara kesuksesan yang diraihnya dengan empati dan kepeduliannya terhadap sesama.
Tetapi, selain hal-hal di atas, orang tua perlu mencermati lagi, sebab banyak anak yang doyan nonton YouTube bukan karena ingin jadi YouTuber.Â
Sebagian dari mereka hanya ingin belajar secara otodidak hal-hal yang tidak didapatnya dari sekolah. Misal cara bermain gitar, membuat kerajinan tangan, merias, memasak, atau mencari referensi tentang profesi yang diimpikannya.
Sekiranya anak ingin mempraktikkan tutorial dari YouTube, maka jika tidak memberatkan dan membahayakan, bolehlah dipenuhi.Â
Misal dia minta dibelikan pianika, belikan saja yang harganya Rp100 ribuan, tidak usah yang bermerek. Atau bila dia minta dicarikan kardus bekas, pinjam alat make up ibunya, atau minta diajari masak, turuti saja.Â
Ini bukan untuk membuat anak jadi manja tapi mendorongnya untuk lebih kreatif dan imajinatif. Kan tidak semua keinginannya kita kabulkan. Apalagi waktu-waktu seperti ini saat anak tidak ke sekolah adalah saat yang tepat untuk mengembangkan bakat non-akademisnya.
Seorang anak yang punya bakat akademis pun tidak akan maksimal mencapai prestasi kalau orang tua membimbing dengan cara jadul yaitu menghapal dan menyodorkan kunci jawaban dari internet.Â
Generasi pribumi digital alias digital natives mudah distimulasi menggunakan teknologi, asalkan penggunaan teknologi itu kita awasi betul-betul supaya dapat membantu anak, bukannya malah merusak.