Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Kasus Corona Turun Sebaiknya Gugus Tugas Tak Gunakan Kata "Hidup Normal" di Bulan Juli

2 Mei 2020   07:37 Diperbarui: 2 Mei 2020   08:20 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coronavirus will change the world permanently. Gambar dari politico.com

Normal adalah sesuai keadaan yang biasa, tanpa cacat, dan tidak ada kelainan. Jika menggunakan kata "kita bisa hidup normal di bulan Juli" sudah pasti persepsi masyarakat akan kata "normal" adalah bisa ngantor, ke sekolah, ke mall, arisan di kafe, berburu spot foto untuk Instagram, syuting ke restoran untuk channel YouTube, bahkan liburan ke luar negeri sebebas sebelum ada Corona.

Padahal yang dimaksud "normal" oleh Gugus Tugas adalah kita bisa beraktivitas seperti biasa tapi dengan perubahan perilaku. 

Tetap memakai masker saat keluar rumah, tidak berjabat tangan, tetap jaga jarak, dan rajin cuci tangan dengan sabun adalah perubahan perilaku yang harus terus dilakukan karena virus Corona masih ada di seluruh dunia dan mungkin saja disebarkan oleh orang tanpa gejala (OTG).

Pandemi Covid-19 di Indonesia diprediksi berakhir 99% pada 20 Juni 2020. Masih ada angka 1% yang patut diwaspadai agar "hidup normal" tidak kebablasan yang bisa menyebabkan terjadinya gelombang kedua penyebaran Corona.

Pemerintah mungkin ingin memberi rasa optimis dengan mengatakan, "Pada Juli kita bisa hidup normal kembali" tapi penggunaan kata "hidup normal" rasanya tidak pas mengingat selama PSBB dan ada larangan mudik saja masyarakat masih ngeyel, apalagi ketika "hidup normal" sudah diberlakukan.

Setelah berbulan-bulan terkungkung di rumah, akan terjadi euforia di masyarakat yang membuat mereka melupakan masker dan jaga jarak. Masyarakat berduit akan liburan untuk melepas kejenuhan dan masyarakat bawah akan bangkit mencari rejeki. Hidup normal dengan perubahan perilaku sulit berlaku bagi mereka.

Lagipula bagaimana membatasi jarak antar siswa di sekolah dan mahasiswa di kampus? Bagaimana pula melarang dua perempuan yang spontan cipika-cipiki saat bertemu di kafe? Bagaimana pula melarang ibu-ibu pengajian untuk tidak saling bersalaman saat datang dan pulang dari pengajian?

Mungkin kata "hidup normal" bisa diganti dengan "keluar rumah dengan perubahan perilaku" atau "beraktivitas dengan tetap menjaga jarak" karena, menurut WHO, selama belum ditemukan vaksin, obat atau metode yang bisa menyembuhkan pasien Covid-19, virus Corona akan tetap ada dan kita tidak bisa berperilaku sama (normal) seperti dahulu.

Kita bisa berkaca pada Tiongkok dimana euforia masyarakat atas pelonggaran lockdown membuat tempat wisata dan hiburan membludak. Karena berkumpulnya orang banyak dalam satu tempat berpotensi menyebarkan kembali virus Corona maka tempat wisata dan hiburan mulai bioskop, pegunungan, gedung pencakar langit sampai karaoke ditutup kembali.

Jangan sampai "hidup normal" yang dimaksud Gugus Tugas diartikan sebagai hidup normal seperti sebelum ada Corona oleh masyarakat. Bisa-bisa pandemi ini malah tidak selesai-selesai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun