Entah kemana hilangnya diksi-diksiku. Terkikis bersama tiadanya engkau di sisiku. Hingga aku terdiam terpasung di tengah dunia yang meranggas. Merampas segala ketenangan dan kedamaian yang akan kucipta.
Lalu bisa apa aku tanpa adanya engkau untuk menggenggam tanganku. Hanya kegelisahan rindu yang kupunya untuk kesempurnaan cinta yang telah engkau bagi. Hanya ketidaksempurnaan rindu yang sanggup aku rawat agar aku mampu bertahan di tengah ricuhnya hidup ini.
Kadang aku bertanya pada diriku. Sanggupkah aku merangkak di atas jalan bebatuan terjal ini sendiri. Bisakah aku meraih beragam mimipi-mimpi kecil yang sedang berlarian di kepalaku. Lalu membungkam mulut-mulut penuh busa yang meresahkan itu. Dan aku sendiri, berjalan diiringi doamu yang tak pernah berkhianat meninggalkan.
Kuyakini, bukan engkau yang pergi terlalu cepat. Tetapi aku lah yang tak pernah siap dengan kepergianmu. Hingga tiap malam, sang rembulan bersedia menjadi saksi atas diriku. Meringkuk menahan isakan rindu. Menjeritkan namamu dalam kelirihan yang teramat. Agar udara yang kuhirup, tak bosan mendengar kegaduhanku perihal merindukanmu.