Di bawah gurun tandus Natanz, ada dunia lain. Dunia di mana logam tak boleh berderak, di mana gerakan teknisi diukur dalam milimeter, dan suhu dikalibrasi dengan kesabaran seorang rahib.
Di ruang reaktor bawah tanah itu, para ilmuwan Iran menyusun masa depan bangsanya seperti seorang penenun Persia menyusun karpet dengan satu benang emas tiap malam.
Ada jalur kabel setebal jari manusia yang membentang seperti akar pohon, terhubung ke sentrifugal gas uranium yang berputar hingga 60.000 RPM. Di atasnya, ada jaringan sensor suhu dan tekanan, lengkap dengan pendingin berbasis nitrogen cair.
Bahkan, di beberapa titik, dipasang tirai elektromagnetik yang mampu menyerap gelombang radar dan menyamarkan panas. Iran tidak membangun reaktor; mereka membangun kamuflase.
Itulah yang tidak disadari oleh para jenderal di Pentagon. Itulah yang tidak tertangkap oleh sistem satelit buatan Israel.
Mereka melihat seolah-olah ada aktivitas besar di permukaan: kendaraan militer keluar masuk, alat berat diparkir rapi, panas terdeteksi meningkat drastis dari udara.
Yang mereka tidak tahu: itu semua palsu. Panggung yang terbakar bukan reaktor. Itu panggung boneka.
Iran tahu satu hal penting: dalam perang modern, citra adalah segalanya. Mereka tahu Israel tidak datang membawa infanteri. Tidak ada tentara bersenjata menyerbu dari darat.
Mereka datang dari langit, dengan satelit, drone, dan rudal yang mengandalkan data suhu, aktivitas visual, dan sinyal komunikasi. Maka, Iran membalas bukan dengan peluru, tapi dengan sandiwara.
Sandiwara yang disutradarai dengan presisi ala akademi militer. Di lokasi-lokasi strategis, mereka membangun reaktor palsu.