Hari itu matahari menggantung rendah di atas langit Persia. Membakar gurun dan menelanjangi keretakan peradaban.
Di jalanan Teheran, anak-anak masih berlari di lorong-lorong sempit, sementara di balik dinding beton dan kawat berduri, para insinyur muda bersedekap di meja kerja mereka.
Mereka bukan petani gandum atau penggembala unta seperti kisah masa silam, tapi pejuang zaman baru, pemegang obor pengetahuan dalam ekonomi ekstraktif yang memerah darah dari bumi dan tenaga dari jiwa-jiwa muda.
Iran dan Israel sedang menggenggam senjata di ujung tanduk sejarah. Asap rudal belum juga hilang dari langit Tel Aviv, dan tiga pesawat F-35 telah jadi puing di tanah karena rudal Bavar-373, buatan tangan sendiri-Iran.
Dunia tercengang, tetapi rakyat Iran hanya mengangguk pelan. Mereka sudah terlalu lama hidup di bawah ancaman, di tengah embargo, dan di ruang sempit kemiskinan teknologi.
Namun jangan kira Iran adalah negeri kecil yang terseok-seok di antara debu sejarah. Luas wilayahnya mencapai lebih dari 1,64 juta kilometer persegi, membuatnya hampir 76 kali lebih besar dari Israel, yang hanya seluas sekitar 22 ribu kilometer persegi.
Dari segi jumlah penduduk pun tak sebanding. Iran dihuni oleh lebih dari 89 juta jiwa, sementara Israel sekitar 9,8 juta orang.
Tapi ini bukan kisah tentang angka semata. Ini adalah kisah tentang dua bangsa: yang satu dikelilingi sanksi dan keterbatasan, yang lain didukung teknologi Barat dan kekuatan sekutu.
Tapi terkadang, keunggulan bukan soal jumlah atau kecanggihan. Keunggulan tumbuh di tempat yang keras, seperti rumput yang menembus retakan aspal.
Dan di Iran, setiap tekanan menjadi benih bagi pembangkangan, setiap larangan menjadi alasan untuk mencipta.