Di sebuah restoran sederhana pada dekade yang tak lagi muda, Arthur B. Laffer mencoret-coret serbet makan malam. Serbet itu bukan sekadar alas tumpahan sup krim jagung, melainkan selembar peta perang ekonomi.
Mirip seperti saat Ragnar Lothbrok dalam serial kolosal Vikings, sang petani yang berani menantang dewa-dewa lama, menggambar arah pelayaran ke tanah yang belum dikenal. Seperti Ragnar yang melawan arus tradisi dengan keberanian dan visi laut yang tak kasat mata.
Laffer menantang ortodoksi ekonomi kala itu: bahwa menurunkan pajak bukan berarti mengurangi pendapatan, tapi bisa menjadi jalan menuju kemakmuran. Kurva Laffer pun lahir, bukan dari menara gading akademik, melainkan dari naluri dan intuisi seorang pejuang ide.
Kurva Laffer, demikian ia disebut, bukan hanya diagram lengkung semata, tapi paradoks tentang kekuasaan dan kelincahan: bahwa memungut pajak terlalu banyak bisa berarti kehilangan segalanya.
Dan kini, suara tua dari lelaki yang pernah membisikkan strategi ke telinga Ronald Reagan itu, melintasi Pasifik dan mendarat di telinga Indonesia.
Dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia, Laffer tak datang membawa wangsit, melainkan akal sehat yang sudah lama kehilangan tempat duduk di ruang-ruang rapat kementerian.
Ia bicara tentang insentif, tentang produktivitas, tentang sektor riil yang tak butuh basa-basi seminar. Dan tentu saja, tentang pajak.
Laffer percaya: ekonomi tak bisa digerakkan dengan merampas, hanya bisa dibesarkan dengan memberi ruang. Pajak, kata dia, adalah seperti garam dalam masakan.
Terlalu sedikit, hambar. Terlalu banyak, tak tertelan. Ia bukan musuh pertumbuhan, tapi bisa jadi peracun jika tak bijak digunakan.
Dalam sejarahnya, teori ini melahirkan dua tonggak besar di Amerika: Economic Recovery Act 1981 dan Tax Reform Act 1986. Hasilnya: 20 juta lapangan kerja, penurunan pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi yang tak bisa disangkal.