Saya bukan pelatih, bukan analis taktik, dan bukan pula orang yang bisa menggiring bola tanpa tersandung kaki sendiri. Tapi laga Indonsia vs China menegangkan
Tapi malam kemarin, saya menonton pertandingan Indonesia lawan China sambil minum kopi tubruk dan mengoleskan balsem di lutut---ritual yang katanya membawa keberuntungan, meski lebih sering membawa ngantuk.
Pertandingan ini penting. Katanya, kalau menang, Indonesia bisa naik kelas: masuk putaran keempat kualifikasi Piala Dunia. Bukan main. Biasanya, kita cuma jadi pelengkap penderita. Kali ini, kita jadi penderita yang melawan.
Laga dimulai. Di layar kaca, para pemain berlarian seperti dikejar utang. Bola diperebutkan, digiring, lalu hilang lagi. China menyerang. Indonesia bertahan. Kadang sebaliknya. Seperti percakapan rumah tangga---tak selalu jelas siapa yang mendominasi.
Tapi semua berubah ketika wasit menunjuk titik putih. Penalti. Saya berdiri. Bukan karena tegang, tapi karena kopi saya tumpah.
Ole Romeny, pemain naturalisasi, maju seperti orang yang sudah pernah melalui antrean panjang di Samsat---tenang, sabar, tahu bahwa hidup ini soal menunggu giliran. Kakinya mengayun, bola meluncur pelan, dan jala gawang China bergetar pelan, seperti dada mantan saat melihatmu sukses.
Seketika, rumah tetangga saya ribut. Bukan karena gol, tapi karena gas elpiji meledak. Tapi saya tetap bersorak, dan sejenak melupakan semua cicilan.
Timnas bermain dengan semangat seperti anak kos yang tinggal dua hari lagi masa kontraknya berakhir. Lini belakang kokoh. Kiper Maarten Paes tampak seperti pos satpam yang tak bisa ditusuk calo. Segala serangan ditolak mentah-mentah, seperti lamaran kerja tanpa ijazah.
Di luar negeri sana, para komentator mulai angkat bicara. Rob Dawson dari ESPN bilang bahwa kemenangan ini adalah momen bersejarah dan bahwa "Indonesia is finally making its statement in Asian football."
Mungkin ia lupa, kita sudah sering bikin pernyataan, cuma sering tidak dibaca. Tapi tak apa. Lebih baik terlambat dipuji daripada rajin kalah tapi dipanggil manis.
Saya teringat kutipan dari filsuf Yunani, Heraclitus: "No man ever steps in the same river twice." Artinya, pertandingan kemarin malam bukan cuma soal sepak bola. Ini air sungai yang lain, ini Indonesia yang lain.