Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Inflasi dan Pengorbanan

8 Agustus 2022   07:46 Diperbarui: 9 Agustus 2022   16:07 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia tengah menghadapi dua peristiwa. Pertama, dinamika guncangan rantai pasok global. Kedua, dinamika antara laju inflasi (foto : istockphoto via coinculture.com)

Tentu saja, bayangan naiknya suku bunga kebijakan secara agresif tersebut, bersamaan dengan meningkatnya GWM rupiah, yang kian menyedot likuiditas perbankan.

Dalam artikelnya, Prof Chatib mengkhawatirkan, bila kombinasi kenaikan suku bunga kredit dan GWM, akan menggerus investasi.

Bank-bank besar, mungkin memiliki ruang likuiditas yang longgar, namun bagi bank kecil, kebijakan suku bunga agresif berikut kebijakan makroprudensial ketat, akan membuat bank-bank buku rendah memobilisasi dana, dengan menaikan bunga. Tentu saja, hal demikian, berlawanan arah dengan momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi.

Saya sependapat dengan prof Chatib, bahwa BI mesti melakukan forward guidance, signal ke depan, peningkatan siklus moneter---menaikkan suku bunga (BI 7-Day 9 (Reverse) Repo Rate) dalam menetralisir ekspektasi inflasi. Kendati, hal tersebut resisten dengan pertumbuhan ekonomi. Inilah korban yang harus dibayar.

Dalam kurva Philips, ada yang dikenal dengan sacrifice ratio atau persentase PDB yang dikorbankan, jika pemerintah ingin menurunkan inflasi. Bila batas atas inflasi 5% dan inflasi terkerek 6%, maka untuk menurunkan inflasi 1%, PDB dengan persentase tertentu mesti dikorbankan.

Pengendalian inflasi melalui BI7DRR, akan berdampak pada perlambatan pengeluaran. Tingkat harga akan turun dan memberi disinsentif pada perusahaan, sehingga menahan diri untuk ekspansi.

Akibatnya, ada proporsi PDB yang hilang. Dari sinilah sacrifice ratio dihitung. Inilah harga yang harus dibayar, bila kebijakan moneter dan fiskal diperketat.

Tentu saja menghitung sacrifice ratio dikaitkan dengan cyclical unemployment (Okun's Law). Dimana tingkat pengangguran cyclical yang akan dikompensasi dengan penurunan PDB dengan persentase tertentu.

Dengan mengetahui sacrifice ratio, BI dapat menentukan tindakan yang harus diambil untuk mempengaruhi output dalam perekonomian dengan biaya paling rendah.

Kebijakan BI dengan memperketat siklus moneter, berisiko pada memperlambat investasi dan penurunan output. Namun bila langkah tersebut dilakukan pada momentum yang tepat, proporsi PDB yang hilang/dikorbankan, tidak berdampak terlalu dalam terhadap pengangguran cyclical. 

Seperti pernyataan pernyataan Jason Furman (ekonom Harvard) yang dikutip Prof Chatib. Cara terbaik untuk mengerek upah riil pekerja, bukanlah dengan meningkatkan upah nominal, tetapi dengan menurunkan inflasi. Namun harus ada yang dikorbankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun