Belakangan ini, tragedi bangkutnya Sri Lanka, menjadi horor bagi negara-negara berkembang. Sri Lanka bangkrut, setelah dinyatakan default. Gagal bayar utang!
Ini yang terjadi di Sri Lanka, rasio utang terhadap PDB >100 persen. Sovereign credit rating anjlok. Inflasi meledak hingga 56 persen. Suku bunga kebijakan terkerek hampir 16 persen.
Dunia usaha tiarap. Picu PHK masal. Kerusuhan merebak. Pajabat eksekutif dan legislatif diuber, ditangkap, diikat dan dilempar pakai tai oleh masa.
Pertanyaan horor kemudian meruak kemana-mana. Dus, setelah Sri Lanka, negara berkembang mana lagi yang jadi tumbal ancaman risiko resesi global? Bagaimana dengan Indonesia?
Fundamental Indonesia masih resilien. Terlihat pada kuartal-2 2022. Kinerja PDB berada di level ekspansi 5,0 persen pada kuartal-1 2022, menunjukan daya imunitas kinerja PDB.
Namun pertumbuhan ekonomi pada kuartal-2 2022 akan terkoreksi--mengalami perlambatan. Ini lebih disebabkan aspek teknikal perhitungan, karena periode baseline lebih tinggi, dimana pada kuartal-2 2021, pertumbuhan ekonomi 7,07 persen
Faktor konsumsi lebaran dan tahun ajaran baru, masih menjadi pengungkit ekonomi (PDB Pengeluaran) di kuartal-2 2022. Dengan demikian, kalaupun terkoreksi, kinerja PDB hanya stag di -+ 4 persen.
Dengan demikian, Indonesia belum dikatakan resesi, bila pada kuartal-2, kinerja PDB hanya mengalami perlambatan. Dikatakan resesi, bila kinerja PDB negatif dua kuartal berturut-turut.
Dengan purchasing manager index/PMI 51, menunjukan bahwa indikator output masih di level baik/ekspansi. Demikian juga international balance of payment yang masih mencatat surplus.
Namun catatannya, windfall revenue dari ekspor komoditas yang memberikan kontribusi pada NPI, akan terkoreksi, seiring commodity price index yang menunjukan penurunan. Disebabkan global demand yang mengalami penurunan.