Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tausiah Prof Emil Salim (Part-2)

17 April 2021   17:01 Diperbarui: 17 April 2021   17:38 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto: legaleraindonesia.com)

Berlanjutlah perbincangan ngalor ngidul antara prof Emil dan pak Gita. Berbagai soal diomong sepotong-sepotong. Giliran saya yang dengan sigap menangkap omongan mereka bagai seekor cicak mencengam laron.

Kalau Program for International Student Assessment (PISA) Index Indonesia yang mangkrak, lantas kenapa ibukota baru yang dibangun? Sungguh mati, ini pertanyaan prof Emil di podcast Edgame-nya pak Gita Wirjawan.

Pertanyaan lain prof Emil pun menyembul disitu, bahwa kenapa pula bikin food estate di wilayah gambut, karena sudah pasti high cost, dan produktivitasnya rendah.

Belum lagi memantik krisis iklim akibat deforestasi. Ada sekitar 1,4 juta hektar atau 40% ekosistem gambut berada di Area of Interest (AoI) food estate pada empat provinsi.

Selain itu, lahan gambut terbuka potensial melepaskan karbon dalam jumlah besar. Ini akan menghambat ketercapaian komitmen iklim Indonesia. Ini kajian para aktivis lingkungan. Apalagi prof Emil adalah dedengkotnya pemerhati lingkungan.

Begitupun pertanyaan tak kalah menggigit, kalau karbohidrat yang dibutuhkan, lantas kenapa beras yang diimpor? Menurutku makesense.

Itulah pentingnya diversifikasi pangan. Tapi sejatinya, politik pangan kita ke arah mana? Ke arah kedaulatan pangan, atau ketahanan pangan?

Kalau mau ketahanan pangan, maka infrastruktur yang sesuai dengan konten lokal benar-benar disiapkan. Ketahanan pangan tidak dicapai dengan impor beras. Titik !

Pertanyaan yang presisi untuk masalah pangan. Itu pertanyaan mantan menteri Bappenas era Soeharto loh ya. Sudah pasti, politik pangan, adalah konvergen dari skema penting perencanaan pembangunan nasional.

Bayangkan saja kalau suatu masyarakat benar-benar lapar tak karuan. Apa tidak ditawur pemerintahnya? Ujung-ujung ketimpangan itu ada di perut. Kalau sudah kelamaan lapar, otakpun bisa senewen.

Termasuk ketimpangan politik juga urusan perut. Kendati ada sedikit kebutuhan ideologis. Lihat Myanmar sekarang, pemerintah dan rakyat saling tawur. Sebentar lagi mirip Suria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun