Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tausiah Ustaz Prof Emil Salim

16 April 2021   17:47 Diperbarui: 16 April 2021   18:53 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto : cedrsolutions.com)

***

Dari pada melihat manuver buzzer di lini masa yang tak karuan-karuan, terlintaslah begitu saja podcast Endgame punya Gita Wirjawan di hadapan layar dawai. Sosok yang kalau ngomong Inggris, pronounce-nya bagus bukan main.

Tempo, sebelumnya, Endgame-nya pak Gita, mengundang Mardigu dengan ide-ide yang terdengar keblinger dan terkadang songong. Apa-apa maunya berantem saja. Entah itu ekonomi, ekonomi politik, terlebih-lebih politik praktis.

Namun kali ini narasumbernya prof Emil Salim. Keduanya bicara congkah-cangkih. Dari soal gemeinschaft and gesellschaft lalu merambat kemana-mana hingga ke Al Khawarizmi. Ilmuwan Islam yang tak terkira legacy-nya kepada dunia.

Tempo pada bagian Al Khawarizmi inilah, Prof Emil terkagum-kagum, bahwa betapa Islam di masa itu ((786-809 M), telah meng-influence empirical science. Al Khawarizmi yang kemudian melahirkan aneka ilmu matematik seperti ilmu Al Jabar, Algoritma dalam wadah yang bernama Baitul Hikmah alias House of Wisdom di Baghdad

Menurutnya, passion Islam sekarang berbeda sama sekali. Justru sekarang, influence Islam cenderung politik kubu-kubuan tak terkira ruwetnya. Ia mengimpikan Islam seperti di era Al Khawarizmi itu. Mampu meninjeksi suatu peradaban dengan ilmu pengetahuan dan derivasinya. .

Alangkah gregetnya Prof Emil, ingin melihat influence Islam di abad 7-8 Masehi. Era dimana Eropa di puncak kegelapannya sementara, Islam begitu mencerahkan.

Pada bagian gemeinschaft, di uraikanlah prof Salim tentang budaya latar Minangnya, yang mana orang di Minang sana yang menjurus pada gemeinschaft, atau hidup berkoloni dalam budaya Surau hingga konon ada inisiatif membikin Surau global.

Dalam kecenderungan gemeinschaft itulah, keinginan tiap individu tergencet sedemikian rupa, hingga kepentingan kolektif yang dikedepankan. Gemeinschaft di mata prof Emil, justru terbantu dengan era digital.

Orang kembali hidup dalam koloni-koloni, dengan---dibantu transmisi digital dengan pikiran "kami adalah kita." Maka era digital, tidak mesti menjurus pada gesellschaft-individualistik.

Hingga prof Emil mampir juga pada soal kualitas pendidikan di Indonesia. Diantaranya soal indeks PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang mangkrak di posisi 60-an dari 70 negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun