Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gempa Bumi Isyarat Tuhan?

24 Januari 2018   14:12 Diperbarui: 24 Januari 2018   14:12 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber foto : bbc)

Ada kebenaran di atas sana. Tapi kita malas menyenggetnya. Setiap peristiwa adalah tanda, sekaligus pesan,tapi kita tak pernah mencernanya. Bencana sealur dosa, secepat itu Tuhan mengirim tanda, tapi kita tak pernah mencengut hikmah di baliknya.

Suatu ketika, seorang murid bertanya pada gurunya, hukum terakhir apakah yang berlaku di balik gaya gravitasi? Lantas gurunya tercengung. Yang ditangkap adalah fakta empirik, tapi sulit memahami hukum-hukum yang berlaku di balik peristiwa empirik. Hanya akal, dengan segala kemampuan supra-rasional, yang bisa memahaminya. Bahwa, selalu ada realitas tertinggi di balik peristiwa empirik.

Setelah Georges Lemaitre dalam hipotesis atom purba menemukan teori ledakan besar (big bang), para ilmuan bersintesa, disitulah awal mula adanya kehidupan. Adanya ruang dan waktu. Disitulah sejarah ilmu-ilmu empirik bermula. Etape awal berlakunya hukum-hukum fisika.

Jauh sebelum hipotesis atom purba, Al quran menjelaskannya dengan gamblang. "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Al Qur'an, 21:30). Tapi pernahkah kita bertanya, sebelum hipotesis atom purba dan teori big bang, hukum-hukum apakah yang berlaku?

Seturut pertanyaaan demikian, kita berhenti dan menjawab pasrah, bahwa hukum-hukum metafisika lah yang berlaku. Hukum yang bisa ditangkap dengan kecerdasan supra-rasional.

Bahwa kejadian demi kejadian, harus ditangkap dengan kecerdasan supra-rasional. Karena kejadian empirik, hanyalah tanda kecil untuk memahami kehendak dan hukum yang lebih tinggi di baliknya.

Tuhan dengan segala keinginan dan hukum-Nya, adalah realitas tertinggi yang apodiktif. Maka kejadian demi kejadian harus dibaca sebagai tanda, agar manusia dapat menangkapnya sebagai isyarat akan kehendak Tuhan dengan segala kebaikan yang melingkupi-Nya. Bukankah selalu terjadi dua dinamika gerak mutlak dalam hidup ini? Dari yang universal ke partikulir, dan kemudian, dari partikulir ke yang universal?

Gempa bumi, tsunami , banjir, tanah longsor dan musibah lainnya, tak melulu ditanggap sebagai peristiwa alam biasa. Bahwa kejadian seperti gempa, bukan semata suatu pergeseran lempeng bumi mencapai titik keseimbangan baru. Peristiwa alam dimaksud, adalah suatu pesan dari langit yang perlu dibaca dengan daya supra-rasional yang kuat.

Jalaluddin Rumi pernah menyinggungnya dengan sangat gamblang; bahwa secara mikro kosmos, manusialah pusat orbit kehidupan. Maka kelakuan manusia yang acap kali melanggar kodratnya; fitrahnya, adalah suatu bagian dari rusaknya tata kosmos dalam pengertian manusia sebagai pusat orbit kehidupan; sebagaimana dimaksud Rumi.

Bukankah Tuhan telah memberikan pesan begitu kuat melalui tragedi yang menimpa negeri kaum Sodom (umat nabi Luth) ? Umat Nabi Nuh, Musa, Harun atas perbuatan zalim kaumnya? Marilah kita membaca peristiwa demi peristiwa ini dengan daya dan spirit keimanan yang mumpuni. Membaca tanda. Wallahu'alam

**** Peminat citizen journalism

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun