Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pesona Baranusa dan Bahasa Cinta

9 September 2016   02:15 Diperbarui: 9 September 2016   03:14 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat menikmati udara pagi di Pantai Baranusa (foto : Munir Doc)

Di ujung dedaunan masih tersisa embun pagi yang sesekali netes jatuh membekas ke tanah. Dari balik atap daun kelapa, nampak kepul asap menembus celah-celah atap rumah warga. Hilir-mudik warga mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Tak jauh dari rumah terlihat teluk Bugeng membentang tenang. Beberapa ekor bangau mencakar dan merobek teduhnya laut; menerkam ikan-ikan kecil yang sesekali riak di permukaan. Ibu-ibu paru baya dan suaminya, asyik membersihkan jaring rumput laut yang tersangkut sampah. Rumput laut, kini menjadi lapangan usaha yang menjanjikan bagi masyarakat Baranusa.

Pagi itu kami memang sengaja jalan-jalan mengitari Baranusa. Desa yang tak pernah berubah belasan tahun silam sejak saya tinggal pergi menuntut Ilmu di rantau. Sejak tamat MTs Baranusa, saya sudah menetap di kota Kupang hingga tamat kuliah dan bekerja di Atambua selama lima tahun sebelum menetap di Jakarta.

Baranusa, masih saja menyimpan keperawanan alam dan sejuta pesona yang menjuntai memantik inspirasi terbang jauh. Desa yang memberikan ketenangan, dengan sistem kekerabatan yang kuat. Kami hidup dalam klan-klan suku yang berhubungan satu sama lain membentuk pranata sosial yang kuat dan solid.

Saya selalu melipat-lipat dan menyimpan memori masa kanak-kanak kami di Baranusa dengan rapi tanpa terlupakan sedikit pun. Hampir separuh dari bangunan imajinasi saya hingga saat ini, adalah dari masa-masa kecil yang indah bersama alam Baranusa. Masa-masa kecil saya begitu kuat didekap oleh alamnya yang mempesona itu.

Pagi itu, saya serasa ingin sekali menyusun kembali masa kanak-kanak kami di Baranusa sembari menyisir pantai Madrasah,danManapabura hingga Watang Peing. Apalagi di seberang sana, ada Pulau Kura yang menari menggoda. Dengan tarikan napas yang dalam, saya berusaha menghirup udara pagi yang bersih. Masa-masa libur di kampung, seperti masa ketika saya berkali-kali jatuh cinta dan tenggelam dalam pelukan dara nan jelita.

Saya selalu berfikir, bahwa alam adalah jiwa. Alam hidup dalam hukum-hukumnya di sekitar kita. Alam selalu berdialog dengan manusia dalam suatu transmisi isyarat yang hanya mampu di mengerti oleh mereka yang punya kesadaran kosmik dengan takaran kecintaan yang lebih.

Hilir mudik warga Baranusa mengais rejeki sebagai nelayan (foto : Munir Doc)
Hilir mudik warga Baranusa mengais rejeki sebagai nelayan (foto : Munir Doc)
Teduhnya air, menghijaunya bakau dan percikan laut akibat riak ikan-ikan kecil yang diseruduk pemangsanya, adalah sebuah bahasa alam, yang perlu dimengerti dengan hati. Alam selalu memberikan jiwa pada kita; setidak-tidaknya mempersembahkan kedamaian jiwa.

Betapa sering kita hanya dicekoki cara pandang ekologis yang akademis an sich, tapi kita tak mampu berpadu dalam persenggamaan jiwa dengan alam dari palung hati. Karenanya, kesadaran ekologis yang mentah itu, membuat kita acap kali mengeksploitasi alam dengan cara-cara yang lacur. Tanpa kita sadari, bahwa alam adalah jiwa penuh cinta, ia acap memberi keindahan, memberikan cinta dalam makna-makna yang perlu dibaca dengan nalar dan jiwa yang estetis.

Hutan Bakau yang padat di sepanjang pantai Baranusa dan Pulau Kura (Foto : Munir Doc)
Hutan Bakau yang padat di sepanjang pantai Baranusa dan Pulau Kura (Foto : Munir Doc)
Sejak kecil, saya begitu terpesona dengan kekayaan alam laut Baranusa. Satu-satunya yang selalu menenangkan hati saya adalah pohon bakau (mangrove) yang hijau dan berjejer rapi di pantai dekat rumah kami, dan juga Ilake’el tempat permandian masyarakat Baranusa. Begitu cintanya, suatu waktu ketika di studi akhir S1 jurusan Biologi, saya pernah mengajukan judul skripsi, “Pengaruh Penebangan Hutan Mangrove Terhadap Erosi permukaan dan Sendimentasi kali Ilake’el Baranusa.” Tapi sayang, judul itu di tolak karena pembimbing saya belum ada yang siap karena tingkat kerumitan dalam riset.

Betapa kecewanya saya saat pulang berlibur di Baranusa semasa kuliah, Ilake’el yang banyak menyimpan masa-masa kanak-kanak itu, mengalami pendangkalan dan berlumpur. Semburan mata air yang biasa kita temukan dimana-mana pun menjadi berkurang. Beberapa literatur yang pernah saya baca tentang ekologi semasa kuliah S1, memang pengaruh penebangan pohon mangrove di sekitar Ilake’el, sangat berdampak terhadap volume air dan menyebabkan sendimentasi.

Tentu saya berharap, semua keindah alam yang tumpah ruah di masa-masa kecil kami itu, bisa dikembalikan lagi kepangkuan tanah Baranusa. Yang dibangun adalah kesadaran; seiring itu, alam akan kembali memberikan jiwa pada kita. Betapa sering saya selalu mengelu-elukan, bahwa Tuhan menciptakan daratan Alor, Pantar dan Tentu Baranusa dengan penuh kehati-hatian dalam takaran cinta yang tak terhingga.

Itulah kenapa, saya tak berhenti bersyukur; tumbuh dan besar di Baranusa. Sebuah desa kecil yang begitu kuat membangun jiwa saya, dengan transmisi pasan-pesan alam kuat dan menancap. Keindahan alam Baranusa, adalah bait-bait cinta dan keindahan tanpa kata, tapi berurai makna dan mempersembahan kedamaian jiwa; hingga kita bersyukur pada-Nya tanpa ada batas ruang dan waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun