Mohon tunggu...
M yahya wahyudin
M yahya wahyudin Mohon Tunggu... Atlet - Reasearcher

Orang bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Elegi UU ITE: Surplus Arogansi Defisit Demokrasi

1 Agustus 2021   17:00 Diperbarui: 10 Mei 2023   15:50 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jeff Zaleski mengatakan jika dewasa ini perkembangan informasi dan komunikasi telah mencapai tahap kemajuan yang sangat pesat. Baik dari dunia informasi maupun dunia komunikasi tentu bisa kita rasakan dampaknya, banyak dampak positif namun tidak sedikit pula dampak negatifnya, keadaan hari ini membuat orang-orang lebih aktif menjalankan aktivitas sehari-harinya di dunia maya dibanding dunia realita, mulai dari bisnis, jual beli online sampai e-commerce. Manusia yang dihalangi oleh berbagai keterbatasan, tetapi dengan adanya internet, ruang, jarak dan waktu menjadikan keterbatasan itu hilang. Menurut Kenichi Ohmae itulah dunia tanpa batas. 

Fenomena kemajuan zaman tersebut juga ikut melahirkan kejahatan-kejahatan baru terkhususnya dalam dunia internet dengan apa yang disebut Cyber crime. Hal ini tentunya memaksa pemerintah untuk mengeluarkan peraturan perundang undangan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut, maka lahirlah undang-undang nomor 11 tahun 2008 yang telah direvisi menjadi undangundang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Undang-undang tersebut dibentuk dengan tujuan agar memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik dan hak-hak konsumen terlindungi.

Namun sejauh yang kita rasakan, UU ITE tersebut telah mengalami disposisi yang begitu besar dari tujuan awal pembentukanya, hari ini UU ITE tersebut malah dijadikan alat untuk memberangus suara-suara kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, UU ITE juga menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.

Tentunya, cukup prihatin melihat masalah itu terjadi. Sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya pemerintah terbuka terhadap berbagai kritik yan muncul dari masyarakat demi terciptanya pemerintahan yang baik (Good governance).

Selain itu juga kebebasan berpendapat secara mutlak telah dilindungi oleh konstitusi tepatnya pada pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 dengan turunan nya yaitu pasal 22 ayat 3 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Sudah banyak orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah berakhir di jeruji besi karena UU ITE, masalah ini perlu menjadi perhatian lebih pemerintah agar indeks demokrasi di Indonesa tidak terus merosot. Pemerintah harus segera merevisi pasal-pasal karet atau pasal-pasal yang masih multitafsir pada UU ITE. Pemerintah juga harus sadar bahwasanya Chek and balance sangat diperlukan dalam sistem pemerintah demokrasi, hal itu agar kekuasaan tidak digunakan dengan semena-mena.

Disposisinya UU ITE

UU ITE dibentuk dengan tujuan yang baik, yaitu berkenaan dengan melindungi hak-hak konsumen dalam e-commerce, selain itu juga diproyeksikan untuk mencegah kejahatan internet (Cyber crime). Berkenaan dengan hal tersebut Thomas Hobbes dalam teori tatanan keamanannya memperingatkan kita bahwa setiap individu dengan individu yang lain itu saling membinasakan (homo homini lupus). Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi kemanan individu. 

Ditengah individu yang saling memangsa hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Karena bagi Hobbes sebagai penganut meterialisme, manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingan individunya. Maka jika kita refleksikan dengan teori tatanan keamananya  Thomas Hobbes tujuan dibentuknya UU ITE menjadi sangat tepat disamping lahirnya kejahatan-kejahatan baru terkhusus dalam dunia digital.

Namun tidak serta merta dengan tujuan tersebut pada tahap penerapanya pun akan sama. karena dalam setiap undang-undang selalu memiliki sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Begitupun dengan UU ITE, pada tahap implementasi dilapangan jauh berbeda dengan tujuan awal pembentukanya. UU ITE telah mengalami disposi yang begitu besar, hari ini UU ITE dijadikan sebagai alat untuk merepresi orang-orang  yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. 

Hal ini juga menjadi refresentasi arogansi penguasa dalam mempertahankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam UU ITE terdapat dua pasal yang secara khusus mengatur mengenai kebebasan berpendapat dan juga pembatasan terhadap kebebasan berpendapat tersebut yaitu pada pasal 27 dan pasal 28. Kedua pasal tersebut membatasi secara khusus isi atau muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang diunggah. Walhasil, kedua pasal tersebut juga sering dijadikan "pasal karet" untuk menjerat orang-orang yang menyuarakan pendapatnya terhadap diskresi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun