Mentari membundar, terang, ya, mentari memang bundar, ia tak bisa menyabit ataupun muncul separuh layaknya bulan, meski bulan pun bundar, sama, kecuali ketika gerhana (bukan) total menyantapnya, kita bisa lihat mentari terlihat separuh, atau seperti sabit, itu pun..., hanya beberapa menit, mungkin detik, tapi kita tak bisa menghitung waktu dengan gerhana matahari kan? Paling..., bulan, atau..., sebut saja purnama,
Entah..., berapa kali purnama abis termakan hitung, menghitung kali ia muncul tanpa kabarmu, lima puluh, seratus purnama? Entah, aku sampai lupa,
Bukan berarti aku lupa akan adanya dirimu, masih, aku masih ingat, karena bayangmu masih menjejak di sini, ya, di sini, dalam benak dan hatiku, meski ku tak tahu rimbamu, apa kau juga sama? Ku rasa ya, karena kau yang sering datang ke rumahku, dulu, sebelum jarak dan waktu merenggut sua kita,
Aku masih ingat, surat terakhir yang kau kirim dari pesantren, dan kau melarangku untuk membalas, nomor itu, apa kau pernah tahu aku mencoba menghubungimu, ku tanya namamu, dan kau tahu apa? Ada lebih dari empat orang yang bernama sama sepertimu, sialnya..., semua tak ada yang kenaliku, itu artinya..., mereka bukan dirimu kan? Lalu kau dimana? Aku mulai patah arang.
Waktu bergulir cepat seakan tak peduli, kau disana, di tempatmu yang ku tak tahu, aku disini, memilih jauh dari titik temu kita. Kadang, ketika ku ingat itu aku tertawa, apa kau juga ingat, di depan perpus, hari pertama mendaftar sekolah, kita berkenalan, bercerita sepenggal, lalu kita seperti tak saling kenal selama setahun karena beda kelas, tapi Tuhan menyatukan kita lagi dalam satu kelas di tahun kedua, satu ruangan, satu kelas, satu meja, talipun tersambung, kian erat,
Dingin menyergap tiba-tiba saat bayangmu membersit, engkau menghilang, bukan! Aku yang menjauh? Bukan! Tapi ruang memaksa kita tak saling tatap lagi, waktu mencipta sekat antaramu dan aku, jika cukup ciptakan kosong, haruskah kita terpisah seperti ini, tanpa kata, tanpa peluk, tapi mungkin benar, tak perlu ada kata perpisahan, karena kita tak inginkan pisah, bukankah sebuah pertemuan selalu ada perpisahan?
Mungkin! Tapi pertalian itu tak perlu terputus, selama nafas masih terhembus, pasti kan ada ruang tuk menembus, dan pertemuan kan satukan kita, satu bukan berarti bersama, tapi kita kan saling tahu, bahwa tak ada lupa antara kita, bahwa tali itu tak pernah terputus, bahwa ku masih sahabatmu, dan kau..., masih sahabatku!