Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"The Last Hunter" Part 7

26 September 2018   20:39 Diperbarui: 26 September 2018   22:12 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alex Reese 'The Last Hunter' | Dok. pinterest.com

Prev, Part 6 : Mesin Pembunuh

Anak Kecil Yang Tersesat

Magie membalut luka di lenganku. Untungnya tak ada yang mengetahui kejadian beberapa saat lalu. Tapi apa yang akan tejadi besok jika satu sekolah tahu guru Sains kami yang baru menghilang tanpa sebab? 

Aku terlonjak saat sesuatu jatuh di pangkuanku. Sebuah jas sekolah, Magie yang melemparnya. Asyik membayangkan kejadian apalagi yang akan terjadi, ternyata Magie sudah selesai mengobatiku. 

"Ganti dengan itu, jika ada yang melihat darah di pakaianmu mereka pasti akan bertanya,"

Kupungut benda itu, "Mereka bilang di sini aman, kau lihat apa yang baru saja terjadi?"

"Tak ada tempat yang 100% aman, selalu ada bahaya."

"Yah ...," kukenakan jas itu sambil meluncur dari ranjang. "Kurasa aku mulai terbiasa dengan hal itu."

Kami ke luar dari ruangan itu, kali ini Magie membiarkan dirinya tak menjauh. Bahkan mungkin mulai hari ini dia akan terus menempel. Itu akan membuatku tak bisa leluasa mendekati Keyra.

"Dengar, Alex. Berusahalah menjadi murid sewajar yang lainnya. Tapi tetap, jaga pertemananmu!" pesannya. 

"Bagaimana denganmu?" tanyaku tanpa menoleh. 

"Keberadaanku tidak penting bagi siapa pun, akan lebih baik tidak ada yang merasa kehilangan jika terjadi sesuatu padaku."

Kutoleh dia yang tetap menatap ke depan. Dia berbicara seolah dirinya tak berarti untuk siapa pun. 

"Keluargamu?"

Dia hanya tertawa. 

Dia memang tertawa, tawa yang penuh kepedihan. Dan terasa hambar. Tanpa menjawab dia menunjuk ke depan dengan dagunya.

"Ada yang mencarimu,"

Pandanganku mengarah pada petunjuknya. Keyra berjalan cepat menghampiri.

"Alex, kau dari mana saja?"

Kami menghentikan langkah. "Mrs. Natasha memanggilku,"

"Selama ini?"

Magie menyingkir, namun dia memberiku sebuah isyarat agar Keyra tak perlu tahu apa yang baru saja terjadi.

"Aku lapar, bagaimana kalau kita makan!" ajakku mengalihkan.

Keyra menatapku penuh selidik. Dia bukan gadis bodoh, tentu dia curiga terjadi sesuatu padaku. 

"Kau sungguh baik-baik saja?"

Kuberi ekspresi bodoh, "Memangnya apa yang terjadi padaku? Tentu aku baik-baik saja,"

"Aku hanya khawatir, pertama kali kita bertemu-keadaanmu sangat mengerikan,"

"Menyedihkan-lebih tepatnya, seperti gelandangan yang dikeja razia," sahutku memotong kalimatnya dengan nada muak. 

"Tidak sepenuhnya seperti itu," elaknya.

Kami bertatapan. 

"Kau memang aneh, berantakan, dan seperti buronan polisi. Bisa saja kau memang seorang penjahat, tapi saat kau bilang-aku percaya begitu saja. Mungkin itu bodoh!" makinya. Dia menghela nafas dengan lembut. "Saat melihatmu terlelap, aku tidak tahu-kau ... terlihat sangat manis. Kau lebih terllihat seperti anak kecil yang tersesat,"

Ada debaran aneh yang muncul di dalam dadaku hanya dengan mendengarnya bicara. 

"Lalu orang-orang itu datang, tiba-tiba kau sekolah di sini, tinggal di dekat rumahku. Apa kau sungguh kabur dari rumah? Kenapa mereka tidak membawamu pulang? Dan tiba-tiba saja, kau dekat dengan Magie!"

"Keyra,"

"Siapa kau sebenarnya?"

Andai aku tahu, aku juga tidak tahu siapa aku. Lalu bagaimana bisa kujelaskan padanya tentang apa yang terjadi! 

"Aku juga bingung, intinya ... keluargaku memiliki musuh, dan mereka mengincarku. Itu saja,"

Aku tahu Keyra tak sepenuhnya percaya. Tapi dia mencoba tersenyum, "Seperti rival bisnis?"

Kujawab dengan jinjingan alis dan kedikan bahu. Keyra tersenyum ragu. 

"Jadi, kau ingin menjauh?"

Ada kediaman sejenak. Aku paham jika dia bersikap waspada,

"Kalau begitu seharusnya aku tak bicara padamu," sahutnya lalu tersenyum. 

Kubalas jawaban itu dengan senyum juga, ada perasaan lega yang menyelip di hati karenanya. Aku senang karena Keyra tak berpikir untuk menjauh dariku, tapi ada rasa takut juga yang merayap. Aku tak ingin jika Keyra terlibat, apalagi sampai terjadi sesuatu padanya. Tapi aku juga ingin selalu dekat dengannya. Entah apa yang terjadi dengan diri ini, ada perasaan aneh setiap kami bersama. Mungkinkah sebuah rasa itu bisa muncul dalam waktu sesingkat ini? 

* * * 

Keyra memintaku menyetir, hari ini Charlie ada kelas tambahan jadi kami memutuskan untuk pergi bersama sebelum pulang. 

"Jadi, Magie adalah saudara jauhmu-begitu?"

"Memang sulit dipercaya, aku pun tidak. Awalnya,"

Terpaksa kuberbohong. Sepertinya aku memang mulai terbiasa berbohong. 

"Bagaimana kalau kita nonton film?" usulnya,

"Ehm ... aku tidak terlalu suka,"

Keyra sedikit mengernyit. "Apa yang kausuka?" 

"Aku ...," kutatap Keyra sejenak. "Biasanya kuhabiskan waktu luang bersama Dave untuk berolahraga, atau ... kuganggu lily di dapur,"

"Siapa mereka?" 

"Orangtua,-asuhku."

Keyra menatap aneh, kusadari hal itu. "Orangtuaku cukup sibuk, jadi-jarang kuhabiskan waktu bersama mereka," 

"Ouh,"

"Kau sendiri, kau hanya tinggal bersama pamanmu?"

"Yatim piatu, hanya paman Richard yang kumiliki,"

Kuanggukan kepala pelan. Keyra diam, seolah tak ingin membicarakan hal itu. Mungkin dia juga memiliki sisi kelam yang belum siap diceritakan. Akhirnya kami memutuskan pergi ke taman bermain. Menghabiskan waktu berdua saja dengannya ternyata membuatku lupa akan segala masalah. Lupa akan musuh yang bisa menyerang kapan saja. Tapi aku menikmatinya. 

Hari ini menjadi hari terbaik yang pernah kumiliki, bahkan lebih-dari saat bersama Dave dan Lily. 

Kami diam di halaman rumah Keyra, untuk beberapa saat hanya hela nafas yang bercengkrama. 

"Terima kasih," 

Kami berucap bersamaan seraya saling menoleh. Lalu tawa ringan memenuhi udara,

Aku merasa seperti bocah ingusan, sedikit gugup. "Terima kasih, hari ini sangat berarti. Kau tahu, aku tak pernah dekat dengan teman mana pun. Mereka semua menganggapku aneh,"

"Seperti Magie?" guraunya.

Senyum tipis tersungging di ujung bibirku. 

"Jadi, ini pertama kalinya kau pergi dengan seorang gadis?" tanyanya dengan nada meragukan. 

Kutatap dia lebih dalam. "Kau menyesal menghabiskan hari bersamaku?"

"Apa?"

"Mungkin aku bukan pria seperti dalam impianmu," kalimatku terhenti saat telapak tangannya mendarat di mulut ini. Dia menggeleng.

"Kau terlalu banyak bicara," ucapnya, "kau tahu, kau pria tersopan yang pernah kutemui. Selain Charlie, kau satu-satunya yang mampu ... membuatku nyaman. Hari ini-juga sangat berarti bagiku,"

Kami terdiam. Hanya saling menatap, perlahan kupungut telapak tangan di mulutku itu, menggenggamnya erat. Mengecupnya lembut, lalu kami pun kembali bertatapan. Tanpa suara, aku tak tahu siapa yang memulainya lebih dulu, bibir kami sudah saling menaut. 

Debaran di balik tulang rusuk semakin kencang, rasanya jantungku seperti mau meledak. 

Kami bertatapan lagi. Sekali lagi! 

"Alex," desisnya.

"Sudah larut,  jangan sampai pamanmu memenggalku. Aku masih ingin melihatmu besok," gurauku.

Keyra tertawa ringan, lalu kami mengadukan kening dengan senyum untuk beberapa detik. 

Kutarik diriku, menatapnya sekali lagi lalu keluar dari mobilnya. Mata kami masih bertemu, bahkan saat kumundurkan langkah menjauh. Lalu kuputar tubuh untuk menuju rumahku sendiri. 

Saat kudongakkan kepala, sekilas terlihat bayangan dari jendela lantai dua rumahku. Menghapus senyum yang ingin kubiarkan berkembang sepanjang malam.

----------o0o----------   

Next, ....    ||  baca juga, Part 1 : Siapa Aku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun