Dimas sudah duduk di teras kamar Sonia, hari ini mata pelajaran pertama adalah olahraga. Jadi biarkan saja ia tak ikut, ia harus bicara dengan Sonia. Setidaknya meminta maaf karena telah menambah kegalauan hatinya, tapi ia tetap tidak akan mencabut pernyataan cintanya.
Ia segera bangkit ketika mendengar suara pintu terbuka, Sonia hendak menjemur baju yang baru saja di cucinya, ia melonjak menemukan sosok yang tiba-tiba ada di hadapannya.
"Dimas, kamu membuatku kaget!" serunya, "maaf!" sahut Dimas menggaruk tengkuknya sambil cengengesan. Sonia memperhatikan pemuda itu, "kamu bolos sekolah?" tanyanya.
"Masih jam tujuh kurang kok, masih belum bel masuk!"
"Tapi kamu akan terlambat!"
"Ya biarin aja!"
"Biarin!" sergah Sonia masih menenteng embar berisi cucian. Wajahnya berubah marah, "Di, aku tahu kamu orang kaya. Tanpa ijazahpun kamu masih bisa meneruskan perusahaan papa kamu, atau membuat usaha baru. Tapi bukan berarti kamu bisa menyepelekan pendidikan. Apa kamu tahu bagaimana rasanya putus sekolah, nggak tahu harus bagaimana mendapat pekerjaan untuk menyambung hidup, harusnya kamu bersyukur!"
"Iya-iya aku tahu, aku cuma nggak masuk mata pelajaran pertama doang kok. Soalnya olahraga, entar juga aku masuk setelahnya!"
Sonia terdiam, ia sadar harusnya ia tak semarah itu. Sonia sedikit membuang muka lalu berjalan melewatinya, menuju tiang jemuran dan mulai menjemur. Dimas mengikuti. Memperhatikannya.
"Son, soal kemarin malam...!" seru Dimas membuat Sonia memperpelan kegiatannya, "maaf ya. Aku nggak bermaksud menambah beban pikiran kamu, tapi semua yang aku ungkapin itu...benar___aku memang sayang sama kamu, bahkan aku cinta sama kamu!" ungkap Dimas. Sonia bergeming.
"Aku akan berusaha untuk membuat kamu bahagia, jadi...bisakah kamu mempertimbangkan perasaanku?"