Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Hitam di Terik Siang

31 Maret 2015   10:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Buliran bening ku rasakan mengalir lembut di pipiku, hangat dan menyengat. Aku masih berdiri terpaku di sini, di depanmu. Memandangmu berbaring, ada rasa pedih yang menusuk bagai ribuan jarum yang menghujam.


Aku bahkan tak sempat mengenali rupamu, seperti apa parasmu! Tapi merdu suaramu masih menggema di telinga dan batinku. Aku juga bahkan tak sempat mengucap maaf, belum sempat menata kembali keretakan yang hampir memusnahkan segala yang pernah tertaut. Aku tahu aku egois, aku bahkan tak memberimu kesempatan. Tapi kau memberiku segala yang aku butuhkan.


Kecelakaan itu.....bukan sepenuhnya kesalahanmu. Aku juga berperan sebagai yang bersalah, iya bukan? Aku berseru seolah kau akan menjawab kataku. Apakah sekarang sudah terlambat? Mungkin....., di saat seperti ini aku membutuhkan tanganmu untuk menyeka airmataku, aku membutuhkan bahumu untukku bersandar. Tapi aku hanya mampu memandangmu.


"Ini, tongkatmu!"

Ku pungut tongkat yang aku cari di jalanan karena aku tersandung dan jatuh saat berjalan dari tanganmu, "terima kasih!" sahutku. "berbahaya jika jalan sendirian di jalan raya seperti ini, mau akan antar menyeberang?"

"Tidak usah, aku bisa sendiri!" tolakku. Itu pertama kalinya aku bertemu denganmu, meski sebenarnya tidak. Kau memaksa untuk menyeberangkanku dan mengantarku pulang, akhirnya aku terpaksa menurut karena kau tak mau berhenti bicara dan mengikutiku. Tapi sejak itu, entah apa yang terjadi. Hampir setiap hari kau datang menjemput dan mengantarku ke tempatku belajar membuat tembikar. Sebelum kecelakaan itu terjadi, aku memang belajar membuat tembikar di sana. Dan kecelakaan yang merenggut penglihatanku hampir membuatku patah semangat. Hingga pada suatu hari, aku menemukan sebuah surat dengan tulisan braille, tulisan penyemangat dari seseorang yang tak aku kenal. Setiap hari aku temukan surat itu di kotak surat rumahku. Tulisan-tulisan itu.....yang membuatku bangkit kembali dari keterpurukan.


Saat kita semakin akrab, semakin dekat. Di saat aku merasa tak sendiri lagi, di saat aku merasa bahwa engkau memang dewa penyelamatku aku justru menemukan kenyataan yang menyakitkan darimu. Kau adalah pengirim surat braille misterius itu, dan itu kau lakukan karena rasa bersalah yang tak berani kau ungkap secara langsung padaku. Kau adalah pengendara mobil yang menabrakku hingga aku harus kehilangan penghilatanku dan adik tercintaku yang saat itu masih berusia 6 tahun.

"Maaf, aku tidak bemaksud berbohong padamu. Hanya....!" seru Zidane, tapi belum sempat kau lanjutkan katamu aku sudah lebih dulu menghentikanmu dengan sebuah tamparan. Meski aku tak bisa melihatmu, tapi aku tahu kau berdiri tepat di depanku.

Mungkin akan lebih mudah jika kau jujur padaku sejak awal, jika hubungan yang kau ikat di antara kita bukan berdasarkan kebohongan. Ribuan maaf yang kau pinta selalu ku acuhkan, seolah kesalahanmu begitu fatal. Aku tak tahu, amarah cukup menguasaiku. Aku bahkan sempat tak mengenali diriku.

Dan sekarang apa yang bisa aku lakukan, ketulusan yang tak mampu aku kenali dulu kini telah merenggutmu dariku. Aku kembali sendiri, apa artinya keindahan dunia yang kembali bisa ku pandang jika kau tak ada? Aku merasa duniaku kembali gelap, tanpa ada suaramu, tanpa ada senyumanmu. Aku hanya bisa menatap namamu terukir di atas pusaramu. Menatapmu dengan matamu, seperti janjimu....kau kembalikan penglihatanku, tapi kau renggut dirimu dariku!

Sekarang di bawah payung hitam ini aku berdiri, menatap gundukan merah bertabur bunga dimana kau berbaring dingin di dalamnya. Sang surya begitu terik menyengatku, apa kau bisa merasakannya? Entahlah....., andai saja aku punya satu kesempatan. Ingin sekali aku ucapkan, maaf! Maafkan aku! Dan kau harus tahu, bahwa aku pun sudah memaafkanmu.

**********

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun