"Setelah kupikir, mungkin sudut pandangannya dari pintu mengira aku dan Choeun noona sedang... entahlah, mungkin dia pikir kami sedang ciuman atau apalah? Padahal aku sedang mengobati luka di dagu Choeun noona."
"Astaga. Kalau begitu dia salah paham. Dan kurasa aku tau kenapa Choeun marah. Dia pasti kecewa karena mengira Chungdae tidak percaya padanya."
"Ya, dia bilang begitu ketika akan keluar ruangan."
"Aku agak heran sebenarnya. Kenapa mereka gampang sekali marah? Kenapa tidak bisa dibicarakan baik-baik saja?"
"Apa menurut noona mereka memang bermasalah sebelum ini?"
"Tapi biasanya kalau Choeun ada... OH GOL! GOL! KAU LIHAT ITU, DONGHYUN?"
"OH YAH, DONGSUN HYONG! HEBAT!"
Mendadak kami berdua berdiri, bersorak dan bertepuk tangan karena Dongsun baru mencetak gol untuk timnya. Dia melakukan hi five dengan teman-teman setimnya lalu menoleh ke tribun penonton. Dia memandang ke arah kami dan melambaikan tangannya dengan ceria. Pacarku itu memang hebat, aku bangga padanya. Tapi itu berarti... tuh kan, Chungdae terlihat makin murung. Biasanya permainannya akan kacau kalau dia tidak bisa mengontrol emosinya seperti itu. Aku dan Donghyun duduk lagi.
"Sampai mana tadi kita ngobrol?" tanyaku linglung, "oh ya soal Choeun. Biasanya kalau dia dan Chungdae ada masalah, dia pasti akan bilang padaku kok."
"Mungkin Choeun noona menyimpannya sendiri. Atau dia punya teman curhat lain?"
Mendadak pandangan mataku mengikuti sosok Bojin yang menggiring bola sambil menyisir sisi lapangan dan melewati dua orang sekaligus dengan lincahnya. Oh ya, bisa jadi Bojin juga tempat curhat Choeun.