"YA TENTU!" seruku senang.
Sesaat kemudian meja di hadapan kami dipenuhi beberapa piring kue, beberapa roll kimbap, beberapa cangkir minuman dan dua mangkok jjajangmyeon yang semuanya kami habiskan hanya dalam waktu setengah jam. Aku mengurut-urut pelan kakiku yang terasa pegal.
"Kurasa umurku sudah tidak cocok untuk menonton di standing area," keluhku.
Donghyun tertawa, "lihat siapa yang mengaku sudah tua."
"Aku Cuma bilang umur, aku tidak bilang aku tua!"
"Ada obat untuk mengurut kaki noona?"
"Kurasa ada, tolong ambilkan di laci paling atas."
Ketika membawakan obat itu, kukira dia akan memberikannya kepadaku, tapi Donghyun malah duduk di karpet lagi di hadapanku, lalu mengambil kedua kakiku untuk diletakkannya di pangkuannya. Dia membuka obat oles itu dan mengoleskannya di kakiku.
"Masih sebagai bayaran hari ini."
Aku tertawa atas inisiatifnya, "tolong pelan-pelan saja ya."
Enak sekali rasanya ketika tangan Donghyun memijat kakiku yang pegal. Ketika dia mengurut kakiku, kami berdua diam dan aku memandanginya dengan seksama. Aku bersyukur aku tidak kehilangan dia meski aku pernah melukainya dengan begitu kejam. Meskipun aku tidak tau apakah dengan tetap dekat dengannya seperti ini aku membuatnya bahagia atau malah melukainya lebih dalam, aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa dia di sekelilingku. Karena aku menyadari, ini aneh, tapi aku lebih sering bersamanya dibanding Chungdae. Lalu aku merasa nyaman... merasa sangat nyaman...