MANSHI'S DIARY
CHAPTER 8
ME
Jobless. Sial. Hanya dua kata itu yang terus terulang di otakku pagi ini. Aku melewati restoran-restoran fast food. Ah, lapar... tapi tidak bisa. Aku membuka dompetku. Ini dia. Tinggal 80000 won. 80000 won untuk bulan ini!!!Â
Kurasa mama memang berniat membunuh anak tunggalnya. Apa memang nasibku harus kembali ke Beijing? Sigh. Dunia ini kejam, terutama bagiku. Aku tidak bisa makan di restoran fast food. Lapar ini... aku tau.
Aku harus pakai cara itu lagi untuk mengatasinya. Secara otomatis kakiku melangkah ke distrik yang lebih ramai di Seoul, tapi sekaligus distrik yang agak kotor. Tak ada jalan lain, kan? Aku mendongakkan kepalaku ke bangunan agak tua di kananku. Restoran yang lumayan ramai. Aku mau lihat apa mereka masih bisa seramai ini kalau bukan karena aku. Sigh. Baiklah, aku masuk. Ah, itu dia si bibi.
        "Ahjumma, aku datang. Ada yang bisa aku kerjakan hari ini?" tanyaku dengan nada bosan tapi berharap.
        "Ah, Manshi! Sudah seminggu tidak melihatmu! Kebetulan sekali, kami hari ini punya tiga menu baru yang bisa kau coba. Kau duduk saja disana, aku bawakan," jawab si bibi dengan senyum lebar di wajahnya.
        Aku duduk di salah satu meja dekat counter, memandangi keadaan di sekitarku. Banyak sekali orangnya pagi ini, pasti mereka baru memberikan promo lagi. Tak lama kemudian, si bibi sudah datang lagi, membawa nampan besar berisi dua piring, satu mangkok dan segelas besar air. Setelah sampai di mejaku, dia meletakkan semuanya di hadapanku.
        "Seperti biasa, oke?"
        Piring pertama, kulhat, sepertinya daging ayam yang dimasak pedas; piring kedua, ada steak daging sapi yang dimasak dengan saos kimchi; dan di mangkok, ramen yang warnanya hitam, berkuah, baunya asam sekali. Aku tidak tau yang mana yang bisa membunuhku lebih cepat. Ini, bisa dibilang, adalah pekerjaan sampinganku. Dengan cara ini aku bisa dapat makan gratis. Aku sudah jadi pencicip makanan di empat sampai lima restoran di Seoul ini, tapi jujur saja, restoran ini adalah yang jenis makanannya paling membunuh, tapi berhubung mereka lebih sering mencoba menu baru dan membayarku lebih tinggi dari sisa restoran lainnya, makanya aku sering kesini. Aku kembali memandangi makanan-makanan itu, akhirnya memutuskan daging ayam yang akan kucoba dulu. Aku mengambil daging ayam itu dengan sumpit, cukup mencubit sedikit saja dagingnya, dan begitu menyentuh lidahku, aku langsung batuk keras. Si bibi memandangiku dengan cemas, tapi dia tidak mengatakan apapun. Aku langsung minum. Setelah berdeham beberapa kali dan memastikan lidah dan tenggorokanku masih waras, aku mengambil ramen, menggigitnya, rasanya cukup aman, tapi ketika kutelan, ramen itu membakar tenggorokanku dan langsung saja perutku mulas.
        "Ramennya enak, kan?"
        "Bumbu apa yang kalian pakai?" tanyaku, memegangi perutku, kasihan sekali perutku ini.