Mohon tunggu...
Idrus Fhadli
Idrus Fhadli Mohon Tunggu... -

Just a stupid man who loves simplicity instead of complexity.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Social Media dan Social Movement?

15 April 2010   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:47 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, Rabu (14/04), muncul kasus lain yang tak kalah heboh di negeri nelangsa ini; kerusuhan akibat rencana pengambilalihan lahan sengketa (makam Mbah Priuk) oleh pihak Pemkot Jakarta Utara feat PT Pelindo versus ahli waris lahan tersebut. Beberapa orang menjadi korban akibat insiden bentrok yang terjadi antara aparat keamanan beserta Polisi Pamong Praja melawan warga yang menolak eksekusi lahan. Hampir seharian penuh, sejak pagi buta hingga menjelang malam (bahkan hingga hari ini, Kamis 15/04), stasiun-stasiun televisi dan portal-portal berita online dalam negeri dipenuhi oleh pemberitaan seputar insiden ini. Siang harinya, ketika saya mengakses situs jejaring sosial populer, Facebook, saya melihat satu undangan grup yang menamakan dirinya, “GUGAT PELINDO DAN PEMKOT JAKARTA UTARA atas tragedi Makam Mbah Priuk.” Tidak, tidak, tidak. Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang kasus sengketa lahan itu. Melainkan di sini saya hanya akan berfokus pada fenomena yang terjadi; korelasi social media dengan social movement (yang selanjutnya akan saya gunakan istilah media sosial untuk social media, dan pergerakan sosial untuk social movement).

Sebelum berjalan terlalu jauh, ada baiknya kita bersepakat mengenai apa itu media sosial, agar ke depannya tidak terjadi salah pengertian. Berikut pengertian media sosial yang saya rangkum dari berbagai sumber;

Media sosial adalah media yang didesain untuk memudahkan interaksi sosial, yang bersifat interaktif. Media sosial berbasis pada teknologi internet yang mengubah pola penyebaran informasi dari yang sebelumnya bersifat broadcast media monologue (satu ke banyak audiens) ke social media dialogue (banyak audiens ke banyak audiens). Media sosial juga mendukung terciptanya demokratisasi informasi dan ilmu pengetahuan, yang mengubah perilaku audiens dari yang sebelumnya pengonsumsi konten beralih ke pemroduksi konten.”

Kemudian, apa saja yang termasuk ke dalam media sosial? Sungguh banyak dan bervariasi, beberapa diantaranya; blog, jejaring sosial (Facebook, LinkedIn, dsb), microblogging platform (Twitter, Plurk, Koprol, dsb), jejaring berbagi foto dan video (Flickr, Youtube, dsb), podcast, chat rooms, message board, forum, dan mailing list, dsb. Bila dulu kita hanya mengenal tiga pilar kekuasaan (dan demokrasi), yakni; eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kemudian di era kemunculan media massa, baik cetak maupun elektronik; koran, majalah, televisi, radio, dsb, didukung dengan kebebasan (yang bertanggung jawab) bagi media-media tersebut, media massa pun tampil sebagai pilar demokrasi yang keempat–pilar yang mengawasi dan mengontrol tindak-tanduk ketiga pilar sebelumnya. Dan kini, seiring menjamurnya Web 2.0 dengan media-media sosialnya, bangkitlah pilar kelima, yakni; internet dan media-media sosial itu sendiri. Dalam pilar kelima inilah rakyat banyak dapat berpartisipasi langsung dalam jalannya demokrasi. Melalui pilar kelima pula ini rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas dan terbuka, kapan saja dan di mana saja.

Hal ini bukan baru sekali ini terjadi, melainkan sudah berulang kali, dan tampaknya telah menjadi semacam gerakan solidaritas (bila tidak mau disebut “tren sesaat”) terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat, yang melibatkan masyarakat beserta kepentingan-kepentingannya. Beberapa contoh yang bisa kita ambil; gerakan Cicak vs Buaya, Koin Keadilan untuk Prita, Koin Cinta untuk Bilqis, gerakan menolak pencalonan Megawati dalam pilpres 2009 lalu, gerakan mendukung KPK; Bibit-Chandra, gerakan mendukung Susno Duadji dalam membongkar mafia peradilan, Luna Maya vs infotainment, gerakan menolak (dan mendukung) Julia Perez maju dalam bursa pencalonan Bupati/Wakil Bupati Pacitan, program “Water Charity” yang digagas oleh Alyssa Milano dalam ulang tahunnya yang ke-37, penggalangan dana bantuan korban bencana alam di Haiti, dsb. Beberapa bisa dibilang sukses–menunjukkan taji serta efek nyata, dan sebagian lagi terkesan layu sebelum berkembang, tidak ada implikasi nyata dari gerakannya, seakan hidup segan mati tak mau. Kita telah sama mengetahui dan mafhum, bahwa media sosial merupakan salah satu sarana yang cepat dan tepat untuk menyebarkan berita dan fakta, menumbuhkan rasa solidaritas, dan kemudian menggalang massa. Jutaan orang tergabung di dalamnya, untuk Facebook saja sudah ada lebih dari dua ratus juta orang yang tergabung, belum lagi Twitter, Plurk, blogosphere, dkk. Benar-benar jumlah yang luar biasa dan terlihat cukup potensial untuk mengumpulkan massa dalam suatu gerakan. Bila dalam teori tradisional tentang pengerahan sumber daya (massa/manusia), menyatakan; untuk membuat dan mengerahkan massa dalam suatu pergerakan sosial membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini, internet telah membalikkan perahu teori tersebut. Dengan bantuan internet (dan media-media sosial), mengorganisir dan mengerahkan massa tidak lagi membutuhkan biaya yang besar (meskipun mungkin tidak bisa dikatakan tanpa biaya samasekali). Oleh sebab itulah saat ini dapat kita jumpai dengan mudah berbagai bentuk penggalangan solidaritas dan massa melalui media sosial, sekali lagi contohnya bisa dilihat di Facebook.

Ada baiknya kita melihat bagaimana suatu pergerakan sosial itu bisa dikatakan sukses. Mari kita ambil beberapa contoh. Gerakan Koin Keadilan Peduli Prita, misalnya. Mengapa gerakan ini terbilang sukses? Tidak lain dan tidak bukan adalah tersinerginya antara gerakan di dunia maya dengan aksi di dunia nyata. Di dunia maya, dukungan terhadap Prita Mulyasari dalam bentuk status Facebook, tweet, plurk, posting blog, dsb. Juga tampak dari banyaknya netizen yang bergabung dalam grup Facebook yang menyatakan dukungannya terhadap Prita dan menggugat Rumah Sakit Omni Internasional. Sedangkan di dunia nyata, masyarakat bahu membahu mengumpulkan uang receh dalam bentuk koin sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Pengumpulan koin ini sendiri terkoordinasi dengan cukup baik, banyak relawan di berbagai penjuru daerah, yang bersedia menampung koin-koin dari masyarakat sekitar–orang dewasa hingga anak-anak–untuk kemudian disalurkan ke koordinator pusat. Contoh lainnya adalah kucuran bantuan untuk korban gempa Haiti. Dalam contoh yang kedua ini juga tampak sinergi antara aksi di dunia maya dan dunia nyata, mirip seperti pada contoh yang pertama. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Pengguna media sosial notabene merupakan kalangan terpelajar dengan taraf kehidupan sosial ekonomi menengah ke atas. Pengguna media sosial juga memiliki tingkat literasi media dan internet yang baik. Dua poin itu cukup untuk menjadi lokomotif penggerak opini masyarakat. Seperti dalam dua contoh di atas–Koin Keadilan dan Bantuan Haiti–bilamana, katakanlah ada sepuluh orang pertama yang menyebarkan informasi dan inisiatif, kemudian dalam jaringan sepuluh orang pertama itu setidaknya ada sepuluh orang lagi yang menyebarkan ulang informasi dan inisiatif yang dimaksud, begitu seterusnya, maka akan semakin banyak orang yang terterpa informasi dan inisiatif untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial kemanusiaan tersebut, berlipat-lipat jumlahnya, dan semakin cepat pula informasi, inisiatif, dan aksi nyata di lapangan dapat terealisasi. Namun sayangnya tidak semua gerakan melalui media sosial ini berimbas langsung terhadap fakta di lapangan. Sebagian justru terkesan tampil hanya sebagai “penggembira dan pemeriah pesta”, bahasa kasarnya; ikut-ikutan tren atau “omdo” alias “omong doank”, yang boleh jadi sebagian anggota yang tergabung di dalamnya (atau bahkan sang inisiator sendiri) tidak tahu-menahu duduk persoalan yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan terpecahnya suara yang tampil. Kita ambil contoh dukungan terhadap Susno Duadji dalam membongkar mafia peradilan, misalnya. Di Facebook, bila kita lakukan pencarian dengan kata kunci “Susno”, maka akan turut tampil lebih dari satu grup yang menyatakan dukungannya, beberapa di antaranya; “Dukung SUSNO DUADJI untuk KEBENARAN” dengan jumlah anggota 117.415, “Dukung Susno Duadji Berantas KKN Dan Markus Institusi Kepolisian” dengan jumlah anggota 6.925, “DUKUNG KOMJEN SUSNO DUADJI MEREFORMASI POLRI” dengan jumlah anggota 11.930, “SEJUTA DUKUNGAN UNTUK SUSNO DUADJI MEREFORMASI POLRI” dengan jumlah anggota 16.407, dan grup dukung-mendukung lainnya. Bila dijumlahkan, telah ada sekitar 152.677 orang yang mendukung gerakan yang sebenarnya bermaksud sama; mendukung Susno Duadji. Contoh tambahan, dengan kata kunci pencarian “Jupe Pacitan”, maka akan ditemui beberapa grup yang mendukung dan menolak Julia Perez sebagai Calon Bupati/Wakil Bupati Pacitan, di antaranya; “DUKUNG JUPE JADI BUPATI PACITAN KETIMBANG POLITISI BUSUK DAN MUNAFIK” dengan jumlah anggota 268, “menolak jupe sebagai bupati pacitan” dengan jumlah anggota hanya satu orang, “DUKUNG JUPE JADI BUPATI PACITAN” dengan jumlah anggota hanya tiga orang, “tolak mentah-mentah JUPE Bupati Pacitan” dengan jumlah anggota 1052, dan masih banyak contoh-contoh lain. Mengapa perpecahan suara dalam sekat-sekat grup yang berbeda itu dapat terjadi? Hal ini dimungkinkan oleh banyaknya inisiator gerakan. Para inisiator itu ingin menjadi yang pertama dalam meniup isu dan menggalang dukungan masyarakat maya. Bisa jadi, seorang inisiator tidak sepaham-sependapat dengan inisiator pergerakan lain, maka ia membelah diri ke dalam pergerakan yang berbeda. Kesimpulannya, bagaimana gerakan itu akan terealisasi ke dunia nyata, jika tidak bergabung dalam satu suara? Jikapun benar terealisasi, maka grup yang mana yang (pertama) bergerak? Fenomena lain misalnya, di Facebook, bertebaran undangan untuk bergabung ke dalam suatu grup/gerakan (kita ambil contoh teranyat saja– “GUGAT PELINDO DAN PEMKOT JAKARTA UTARA atas tragedi Makam Mbah Priuk”). Apakah lantas orang-orang yang menerima undanngan grup itu benar-benar menggugat Pelindo dan Pemkot Jakarta Utara atas tragedi tersebut? Belum bisa dipastikan memang. Mungkin agak terasa skeptis, bisa jadi orang-orang yang menerima undangan untuk bergabung ke dalam grup tersebut hanya sekedar menekan tombol “Confirm” tanpa tahu siapa sebenarnya Mbah Priuk itu, bagaimana asal mula kasus sengketa lahan itu, mengapa bentrokan itu bisa terjadi, dan sebagainya. Sebagai penutup, ada baiknya saya salinkan dari sini, 7 langkah untuk melakukan pergerakan sosial;
  1. Kenali pergerakanmu. Kenali siapa/apa yang akan jadi fokus utama pergerakan sosialmu, tindakan apa saja yang akan diambil.
  2. Pelajari pergerakanmu. Pelajari segala seluk beluk dan hal-hal terkait pergerakan yang akan dilakukan, mulai dari yang terkait langsung, tidak langsung, maupun hal-hal yang tampak sepele. Sebisa mungkin gunakan data-data dan fakta-fakta teranyar sebagai pendukung argumen.
  3. Populerkan. Gunakan topik-topik terhangat dan menarik perhatian banyak orang, bisa dari headline berita, dsb.
  4. Galang dukungan dan massa. Hubungi orang-orang yang kamu anggap akan tertarik dengan pergerakan itu, melalui; media sosial, e-mail, daftar telepon, dsb. Berikan informasi sedetil mungkin beserta langkah-langkah eksekusinya.
  5. Komunikasikan. Buatlah satu titik yang berfungsi sebagai sentral informasi, misal; website, blog, grup Facebook, hashtag Twitter, dsb. Di titik inilah orang akan mencari tahu lebih banyak tentang pergerakanmu dan tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk turut bergabung atau setidak-tidaknya mendukung.
  6. Umumkan. Gunakan semua kanal-kanal penyebarluasan informasi; media cetak, media elektronik, dan media sosial. Manfaatkan juga keberadaan blogosphere, dan informasikan pada orang-orang penting terkait mengenai pergerakanmu.
  7. Pertahankan. Sebagai penggagas, hendaknya pula kamu menjadi motivator yang akan terus memberikan api kepada pergerakanmu dan menjadi motor penggeraknya.

Dan sekarang, pergerakan sosial apa lagi yang akan muncul dengan bantuan media sosial? -- Diterbitkan juga di blog saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun