Mohon tunggu...
XAVIER QUENTIN PRANATA
XAVIER QUENTIN PRANATA Mohon Tunggu... Dosen - Pelukis kehidupan di kanvas jiwa

Penulis, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Berjuta Makna Acungan Satu Jari Sandi

9 April 2019   15:57 Diperbarui: 9 April 2019   16:42 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
2019 Merdeka.com/Genan

Nah gini dong seharus nya, dewasa dlm ber demokrasi, semoga juga diikutin masyarakat bwh dr masing2 pendukung. Milih mah bebas aja, klo ribut yg konyol juga kita, sama aja bakar rumah sndiri. Laurensius Wendy

Dari sembilan komentar paling atas---pada saat saya baca---kita bisa membagi warganet menjadi paling tidak tiga.

Pertama, dari kubu 02 (ada empat komentar). Ada yang komentarnya positif tetapi menyindir kubu 02. Misalnya komentar Latifah yang menyebut 'Sandi keren' sekaligus melecehkan kubu 02 dengan sebutan 'gak berpendidikan' yang senada dengan apa yang diungkapkan Fauzan 'kalau anak kecil mainannya diambil suka ngambek...... jadi kasih aja mainannya biar senang' sampai yang sindiran halus 'Cebong ternyata ramah ramah ya?' dari Syarif.

Kedua, dari kubu 01 (ada empat komentar). Ada yang nembak ke pasangan Sandi dengan komentar sarkas: "Boss nya bisa ngga ya kaya begini ?" dari Mr.suweeeee yang senada dengan Zack yang berkomentar:  'Kalau pasangannya sandi, salaman sama pendukungnya sendiri aja ogah, apalagi pendukung paslon lain' sampai yang menyindir dengan halus juga: 'Emang dia tau bkan saatnya sekarang, 2024 nanti mungkin' seperti yang diungkapkan Tzabita.

Ketiga, inilah yang saya suka, yaitu tidak saling serang dan bikin panas, tetapi yang mencoba menyejukkan suasana yang sudah semakin mendidih menjelang 17 April nanti.  Unggahannya simpatik:

'Nah gini dong seharus nya, dewasa dlm ber demokrasi, semoga juga diikutin masyarakat bwh dr masing2 pendukung. Milih mah bebas aja, klo ribut yg konyol juga kita, sama aja bakar rumah sndiri.' Laurensius Wendy tidak mau masyarakat kita terbelah dua dalam pesta demokrasi ini. Jangan sampai demokrasi menjadi---seperti plesetan banyak orang---demo crazy.

Bukankah kata 'demo' juga bisa berarti menunjukkan sesuatu seperti dalam frasa 'demo masak'? Jika kita ingin menunjukkan sesuatu---misalnya siapa yang kita dukung---mengapa tidak melakukannya dengan elegan dan tidak saring serang? Jangan-jangan kita semua mengamini pendapat yang mengatakan bahwa pertahanan yang paling baik adalah menyerang?

Sebentar lagi kita memasuki masa tenang. Sudah seharusnya kita pun cooling down. Biarlah kita memasuiki bilik suara dengan teduh tanpa membuat gaduh. Pilihan boleh beda. Itu namanya demokrasi. Yang menang tetap tenang tanpa kepala menjulang. Yang kalah tetap berserah tanpa memendam amarah. Kita toh satu keluarga. Mari kita rajut kembali tenun kebangsaan yang selama berbulan-bulan ini kita tarik ke sana kemari sehingga robek sana sini. Sudah saatnya saling mengampuni. Mari bergandengan tangan memajukan negeri yang sebenarnya diimpikan banyak negara. Jika bukan kita yang menjaga, siapa lagi yang rela berlaga? Jika bukan kita yang memulai, siapa lagi yang kita nanti?

Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun