Mohon tunggu...
Syarif Dhanurendra
Syarif Dhanurendra Mohon Tunggu... Jurnalis - www.caksyarif.my.id

Pura-pura jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Shardi, Aktivis Sejak Kelas 3 SD

9 Agustus 2018   02:07 Diperbarui: 9 Agustus 2018   02:15 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tulisanku sempat berhenti, kemarin. Kini kusambung lagi. Masih tetap tentang kawan baikku: Shardi.

Kulihat jam dinding di kamatku menunjukkan pukul 01.26 WIB. Ya. Aku habis shalat isya'. Sebab, setelah maghrib hingga pukul 12 malam tadi aku ada diskusi di warungnya Mas Barok Kertosono. Diskusi dengan teman-temanku PMII.

Angin malam masih ku rasakan. Sebab aku menulis ini di atas balkon rumahku. Dengan ditemani secangkir kopi susu yang ku bungkus dari warung Mas Barok tadi.

Yap. Shardi. Bisa dibilang, dia adalah aktifis sejak kelas 3 SD. Walau pun kapasitasnya masih di ranah sekolah, dan sama sekali belum menyentuh dunia "politik". Namun, yang kutahu, dia pernah bercerita denganku mulai kelas 3 SMP tentang politik. Mungkin sejak itulah, awal ia mulai tertarik dengan kata "politik".

Selain politik, masa SMP-nya malah mayoritas pikirannya berisi tentang ilmu agama, entah itu fiqih, akhlaq, maupun tentang firqoh Aswaja, hingga kritenologi. Saat aku ke rumahnya, dia sedang membaca buku tentang 40.000 kesalahan injil yang ditulis oleh Ahmed Deedat dari Amerika. Selain itu, dia juga baca buku yang berjudul "Mantan Kiai NU Menggugat", "Membongkar Kesalahan Buku Mantan Kiai NU Menggugat", bahkan hingga mp3 kaifiyah sholat Salafi (Wahabi). Memori otak temanku yang satu ini memang luar biasa. Aku sampai gak gedok mikir dia.

Dia anak yang memiliki karakter kuat. Aku tidak seberuntung dia. Padahal aku berasal dari keluarga yang mampu, sedangkan dia tidak. Dia harus melanjutkan SMA Swatas yang hanya berakreditasi B. Dan kualitas pendidikan serta fasilitas pendidikannya masih jauh dari kata "layak".

"Sekolah di mana saja sama, Rinda, tergantung orangnya," dia bilang padaku demikian. Aku tahu, itu adalah ungkapan untuk menghibur dirinya, walau pun toh itu benar.

Ternyata dia bisa mencari celah. Mencoba mencari potensi yang bisa ia unggulkan dariku, aktif organisasi. Aku yang sekolah di SMA favorit memang menang secara akademik, tapi kalah telak dengan dia jika berurusan dengan organisasi.

Tahun 2012 dia terpilih sebagai Ketua OSIS di SMAnya. Sejak saat itu jaringannya semakin luas. Anak-anak SMA sekolah lain banyak yang mengenal dia, apa lagi anak se-SMAnya. Guru-gurunya pun bangga dengan dia. Dan dia berhasil menahkodai OSIS dengan sangat mengagumkan. Proker-prokernya tidak ada yang gagal. Semua terlaksana dengan baik, bahkan lebih baik dari periode sebelumnya.

Dia lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Namun masa depannya masih penuh tanda tanya. Sebab, ternyata bapaknya hanya mampu menyekolahkan sampai jenjang SMA.

"Le, Bapak-Emak wong gak nduwe. Nak sampean pengen kuliah, cari beasiswa ya. Jika ndak dapat beasiswa, ya kerja dulu. Nanti untuk kuliah sendiri," kata Emaknya kepada Shardi. (Bersambung... )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun