Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Puluh Tujuh

22 Desember 2022   23:09 Diperbarui: 22 Desember 2022   23:15 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/jantung-balon-langit-cinta-1046693/

Sekarang aku sudah hampir 28.

Waktu aku 23, catatanku dipenuhi dengan ketakutan sekaligus optimisme untuk menapaki banyak tantangan baru. Waktu aku 24, catatan-catatanku lebih berwarna lagi: ada pemahaman yang lebih terhadap diri, keberanian yang lebih untuk berekspresi, tapi juga tetap dibumbui dengan keraguan di sana-sini. Di tahun itu, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menjemput harapan.

Lalu waktu aku 25, ceritaku sarat akan kisah-kisah pencarian jati diri. Harapan yang sebelumnya kuperjuangkan mati-matian entah bagaimana tiba-tiba terasa tak berharga. Di usia 25-ku, catatan-catatanku penuh dengan berbagai pertanyaan soal kenapa begini, kenapa begitu. 

Lantas waktu aku 26, semuanya berjalan biasa saja: jalanku lurus, rasa-rasanya tak begitu banyak tikungan. Memang ada hal-hal yang tak berjalan sesuai rencana, memang ada harapan yang akhirnya harus terkubur, tapi rasanya itu sudah tak begitu jadi masalah. Di tahun itu, aku belajar bahwa di dunia ini, banyak hal yang memang harus di-yaudah-in aja.

"Waktu kamu 27?" Kamu bertanya, memutus ceritaku.

Sekarang aku juga masih 27, Di. Baru hampir saja menginjak 28. Tapi di awal-awal usia 27-ku, ceritaku penuh kejutan. Waktu aku menginjak usia itu, kupikir aku sudah baik-baik saja. Orang-orang di sekitarku bilang kalau aku jadi lebih ceria.

"Aku enggak pernah bilang kalau kamu lebih ceria," katamu, protes. Tentu saja, kamu bukan salah satu di antara orang-orang itu. Kamu kan tahu sendiri: kamu memang selalu spesial, kamu sering kali jadi pengecualian dalam setiap ceritaku.

Tapi yang jelas, waktu itu, bagi banyak orang, aku kelihatan lebih bahagia. Jangankan orang-orang, aku pun berpikir demikian. Aku jadi lebih cerewet, lebih suka bergaul di sana-sini, bahkan tak keberatan mengatur janji pertemuan lebih dulu dengan teman-temanku---aku yang sebelumnya mana pernah begitu. 

Aku benar-benar jadi lain. Bahkan, dalam pertemuanku dengan siapa saja, aku tak pernah lagi jadi si kalem yang cuma akan bicara kalau ditanya, yang cuma ikut tertawa di setiap ujung cerita. Rasanya seperti tiba-tiba saja aku tak keberatan buat jadi banyak bicara.

Jadi kupikir, dengan semua perubahanku itu, artinya aku sudah bisa menerima segala hal yang sebelumnya, bagiku tak pernah masuk akal untuk diterima. Kupikir, aku sudah bisa memaafkan banyak kesalahan yang sebelumnya sulit sekali kumaafkan. Soal keluargaku, soal dia, dan soal banyak hal lainnya. Kupikir, luka yang sudah ada di dalam aku sejak lama sekali itu sudah membaik. Dan kupikir, aku sudah bisa tulus memberi dan mencintai orang-orang di sekitarku karena sepertinya aku sudah bisa mencintai diriku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun